

inNalar.com – Pada April 2024, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, mengonfirmasi bahwa proyek Pantai Indah Kapuk atau PIK 2 telah dimasukkan ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) tahun 2024.
Susi menjelaskan bahwa rekomendasi Proyek PIK 2 Jakarta masuk ke PSN ini berasal dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno.
Mantan Menteri Sandiaga Uno menyatakan bahwa kawasan Pantai Indah Kapuk 2 memiliki potensi besar sebagai destinasi wisata menarik.
Baca Juga: Pulau Dewata Makin Epik! Bali Akan Punya Kereta Bawah Tanah, Investasi Proyeknya Capai Rp167 Triliun
Ia menilai bahwa proyek PIK 2 dapat membuka lapangan kerja serta mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Selain itu, ia menyoroti akses yang baik di sana dan berdekatan dengan Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.
Area ini tentu akan memiliki daya tarik wisata unik, seperti hutan mangrove, destinasi reklamasi, dan pusat kuliner.
Dikabarkan, investasi total untuk proyek para konglomerat ini diperkirakan mencapai Rp 65 triliun yang difokuskan pada sektor pariwisata hijau. Khususnya untuk pengembangan kawasan wisata pesisir dan mangrove.
Namun, masuknya proyek PIK 2 sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional menuai banyak kritik dan kekecewaan.
inNalar.com dilansir dari bantuanhukum.or.id pada 7 November 2024, terjadi kericuhan di Teluknaga, Kabupaten Tangerang.
Baca Juga: Terowongan Bawah Laut Jerman Tembus ke Denmark! Tekor Biaya 7 Miliar Euro Tapi Proyek Tuai Kritik
Peristiwa ini dipicu oleh kecelakaan, sebuah truk yang sedang beroperasi melindas kaki seorang anak.
Truk pengangkut tanah, yang sering melintas di wilayah pemukiman warga, bahkan di luar jam operasi proyek, memicu ketegangan hingga akhirnya menyebabkan kericuhan.
Akibatnya, 22 warga ditahan oleh Polres Metro Tangerang.
LBH menilai bahwa kericuhan yang terjadi bukan hanya masalah hukum atau problem sosial semata.
Melainkan sebagai cerminan dari dampak buruk penetapan PIK 2 sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang sejak awal telah penuh dengan permasalahan.
Proyek PSN pada awalnya bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan untuk menciptakan lapangan kerja.
Namun, pada realitanya proyek ini justru memicu masalah ekonomi, sosial, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) bagi warga sekitar yang terdampak.
Ada beberapa poin penting terkait peristiwa ini. Pertama, pembangunan PIK 2 dan penetapan proyek “coastal development” sebagai PSN telah menuai kritik sejak awal.
Hal ini disebabkan karena keputusan ini dianggap sebagai bentuk kebijakan negara yang melegitimasi perampasan ruang hidup warga dan berbagai pelanggaran HAM oleh sektor swasta.
Keputusan menjadikan PIK 2 sebagai PSN ini juga dianggap hanya menguntungkan sebagian kecil orang dan tidak sejalan dengan hukum.
Sebagai contoh, dalam PP No. 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional, meski secara regulasi sudah tersusun dengan baik, pelaksanaan proyek PIK 2 malah memunculkan berbagai persoalan HAM.
Terutama dalam hal keamanan, sosial, dan ekonomi, yang terlihat dari dampak seperti pemiskinan warga.
Dalam pembangunannya, terjadi perampasan lahan melalui upaya memaksa warga untuk menerima ganti rugi atau harga jual lahan yang rendah.
Tindakan ini dilakukan dengan paksaan, dan warga yang menolak kerap menghadapi intimidasi dari aparat pemerintahan lokal, kelompok vigilante, hingga ancaman kriminalisasi.
Tentu tindakan-tindakan seperti ini tidak sepatutnya dilakukan apalagi berkaitan pada Proyek Strategis Nasional.
Kedua, berbagai permasalahan HAM yang timbul dari pembangunan proyek ini, meliputi aspek ekonomi, sosial, dan budaya menunjukkan bahwa proyek ini tidak layak diberi status sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).
Kedekatan para pemilik perusahaan yang membangun PSN ini dengan sejumlah elite, termasuk Joko Widodo saat itu, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebabnya.
Ketiga, kericuhan yang terjadi setelah kecelakaan tidak bisa dianggap sekadar permasalahan hukum atau konflik sosial.
Peristiwa tersebut merupakan aksi protes warga yang merasa dirugikan dan diperlakukan tidak adil oleh kebijakan pemerintah.
Beragam permasalahan ekonomi, kesehatan, sosial, serta pelanggaran HAM lainnya yang terkait pembangunan PIK 2 seharusnya menjadi tanggung jawab negara.
Namun, pada kenyataannya, aparat justru mengerahkan pasukan Brimob ke Teluknaga di malam yang sama.
Berdasarkan video yang diperoleh LBH, sekitar 100 personel Brimob dengan motor trail dan persenjataan untuk pengendalian massa tiba di lokasi dan menangkap 22 warga.
LBH menyebut bahwa pengerahan Brimob ini merupakan bentuk unjuk kekuatan yang berlebihan (excessive force), yang justru menciptakan rasa takut dan teror di kalangan warga.
Alat negara yang seharusnya melindungi masyarakat malah digunakan untuk menekan warga yang memperjuangkan hak-hak mereka.
Keempat, frekuensi lalu lalang truk untuk proyek PIK 2 di kawasan tersebut melanggar ketentuan operasional sebagaimana diatur dalam Peraturan Bupati Tangerang Nomor 12 Tahun 2022.
Di Pasal 3 Ayat (1), dalam peraturan tersebut menegaskan bahwa waktu beroperasinya kendaraan angkutan barang dibatasi pada jam 10 malam hingga jam 5 pagi.
Namun, dalam praktiknya, truk tanah yang beroperasi sering lalu lalang di luar jadwal tersebut. Bahkan sudah sering menyebabkan kecelakaan lalu lintas.
Merespons berbagai insiden ini, dilansir melalui bantuanhukum.or.id, LBH pada 10 November 2024 mengajukan sejumlah tuntutan.
Pertama, LBH meminta Presiden meninjau ulang dan mencabut status PSN dari proyek-proyek yang didanai swasta apabila terbukti mengakibatkan perampasan ruang hidup warga dan melahirkan pelanggaran HAM.
Kedua, LBH mendesak Presiden memerintahkan Kapolri dan KASAD menghentikan intervensi represif berupa penggunaan kekuatan yang berlebihan dari aparat keamanan.
LBH juga meminta Kapolri agar menginstruksikan Kapolresta Tangerang untuk segera membebaskan 22 warga yang ditangkap dan menjunjung pemenuhan standar HAM dalam proses hukum yang berlaku.
Tuntutan keempat LBH meminta Bupati Tangerang menghentikan sementara pembangunan PIK 2 di Jakarta ini, serta mengevaluasi operasional proyek yang melanggar aturan.
Dan LBH juga menuntut tanggung jawab dari PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk. atas berbagai dampak kesehatan, ekonomi, dan sosial yang ditimbulkan akibat proyek yang dinilai ceroboh dan bertentangan dengan hukum.*** (Aliya Farras Prastina)