Dampak Positif-Negatif Program 3 Juta Rumah Besutan Prabowo Subianto

inNalar.com – Proyek ambisius yang digagas oleh Prabowo Subianto, yaitu pembangunan 3 juta rumah per tahun, bertujuan untuk mengatasi masalah perumahan di Indonesia.

Terutama masalah tersebut sangat terasa oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah. Dengan latar belakang tingginya angka kemiskinan dan kebutuhan akan hunian layak.

Sehingga inisiatif ini diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Baca Juga: Pajak PPN Tahun 2025 Akan Naik 12 Persen: Jadi Paling Tinggi se-Asean

Proyek ini direncanakan untuk membangun 2 juta rumah di daerah pedesaan dan 1 juta rumah susun di perkotaan setiap tahunnya.

Dalam pelaksanaannya, proyek pembangunan 3 juta rumah ini akan melibatkan berbagai pihak, termasuk pengembang lokal, UMKM, koperasi, dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Dengan tujuan untuk memberdayakan ekonomi lokal dan memastikan bahwa pembangunan tidak hanya terpusat di kota-kota besar.

Baca Juga: Inilah Ciri-Ciri Honorer yang Dipastikan Lulus Seleksi PPPK 2024

Adapun dari segi pendanaan,proyek ini diperkirakan memerlukan anggaran yang sangat besar, dengan estimasi biaya mencapai Rp400 triliun per tahun.

Yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta dukungan dari sektor perbankan.

Terutama Bank Tabungan Negara (BTN) yang berkomitmen untuk menyediakan skema subsidi KPR bagi masyarakat.

Baca Juga: Nasib Tenaga Honorer yang TMS Masih Diberi Kesempatan Ini oleh Menpan RB, Buruan Cek!

Proyek ambisius pembangunan 3 juta rumah per tahun ini memiliki potensi untuk memberikan dampak positif yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia.

Pertama-tama, proyek ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan sektor riil dan menciptakan lapangan kerja baru.

Dengan melibatkan lebih dari 183 subsektor usaha, termasuk industri bahan bangunan seperti semen, baja, dan keramik.

Sehingga bisa menciptakan efek berganda yang dapat secara langsung memperkuat perekonomian lokal.

Lebih jauh lagi, program ini memberikan kesempatan bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki hunian layak.

Dengan akses yang lebih baik terhadap perumahan, kualitas hidup masyarakat diharapkan akan meningkat.

Serta juga mendorong pemerataan ekonomi melalui aliran dana yang lebih merata ke berbagai daerah.

Namun di balik itu semua program besutan Prabowo ini idak lepas dari tantangan yang signifikan, terutama pada adanya keterbatasan anggaran.

Karena meskipun estimasi biaya mencapai Rp400 triliun per tahun, anggaran yang tersedia saat ini hanya sekitar Rp5,1 triliun.

Sehingga keterbatasan dana ini dapat menghambat pelaksanaan proyek dan memunculkan risiko utang yang lebih besar bagi negara.

Selain itu, dalam upaya membangun rumah secara masif, ada risiko bahwa standar konstruksi dapat terabaikan jika pengembang lokal tidak memiliki pengalaman atau sumber daya yang memadai.

Proyek ini juga berpotensi menyebabkan pergeseran sosial, dengan kemungkinan gangguan terhadap komunitas lokal yang sudah ada sebelumnya.

Sehingga jika penyaluran bantuan tidak tepat sasaran, program ini mungkin gagal menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah yang paling membutuhkan.

Tentu saja baik kemungkinan dampak positif maupun negatif tersebut menimbulkan beragam reaksi publik.

Seperti para pengusaha menunjukkan optimisme terkait peningkatan permintaan bahan bangunan akibat proyek pembangunan 3 juta rumah tersebut.

Namun, beberapa ekonom mengkritik ambisiusnya target dari program ini yang mungkin menghabiskan anggaran secara fantastis tanpa jaminan keberhasilan.***

Rekomendasi