

inNalar.com – Suku di Maluku ini menjadi salah satu suku yang kental dengan tradisi kepercayaannya. Salah satu tradisi yang mereka yakini adalah menjadikan kepala manusia sebagai mas kawin untuk bukti kejantanan pria.
Suku Naulu di Maluku diketahui masih menganut kepercayaan nenek moyang. Suku ini berada di kawasan pedalaman Pulau Seram Maluku.
Agama Naurus merupakan agama yang diturunkan sejak dahulu nenek moyang mereka.
Baca Juga: Mengungkap Misteri Leuweung Sancang, Tempat Moksa Prabu Siliwangi
Tuhan yang menciptakan alam semesta yang Maha Agung dan bersifat ghaib disebut Upuku Anahatana.
Dalam kepercayaan ini, hubungan antara manusia dengan Tuhan tidak dilakukan secara langsung, tetapi melalui perantara.
Masyarakat di suku yang ada di Maluku ini percaya dalam setiap aspek kehidupan ada roh atau upu yang selalu mengawasi keseharian mereka.
Baca Juga: Surga Dunia di Kulon Progo! Desa di Pegunungan Menoreh ini Masuk 50 Besar Penghargaan ADWI 2024
Diketahui, Suku Naulu memiliki 12 marga, yaitu Sounawe Aenakahata, Sopalani, Perissa, Hury, Leipary, Pia, Matoke, Kamama, Nahatue, Soumory, Sounawe Aepura, dan Rumalait.
Rata-rata mata pencaharian penduduk suku ini adalah berburu dan bertani.
Aliansi Masyarakat Hukum Adat Nusantara (AMAN) pada tahun 2015 melaporkan jumlah penduduk Suku Naulu sebanyak 3.417 Jiwa, dengan jumlah perempuan 1.713 jiwa, jumlah laki-laki sebanyak 1.704 jiwa, dan anak-anak sebanyak 315 jiwa.
Ciri khas yang unik di suku ini adalah kaum laki-laki menggunakan kain merah yang diikat di kepala.
Suku Naulu memiliki beberapa tradisi adat istiadat yang diwarisi secara turun-temurun. Satu diantaranya adalah tradisi Pataheri.
Tradisi ini merupakan ritual untuk para lelaki yang sudah berusia dewasa.
Mereka akan mengenakan kain merah atau yang mereka beri nama “kaeng berang” di kepala dan cawat selama ritual Pataheri berlangsung.
Ritual ini dimulai dengan melakukan puasa selama satu hari. Puasa dimulai dari pukul tiga pagi hingga enam sore.
Kaeng berang yang mereka ikatkan di leher diyakini akan menjauhkan diri dari gangguan setan selama berpuasa sehari itu.
Setelah berpuasa, mereka akan berkumpul di numa onate dan diberikan pakaian adat bernama karanunu onate.
Mereka yang didampingi oleh panglima perang akan berangkat menuju rumah orang tua kapitan untuk memohon doa supaya diberikan rasa keberanian dan terhidar dari bahaya.
Setelah prosesi doa ini selesai, para lelaki tadi akan kembali ke numa onate dan mulai mengambil perlengkapan seperti tombak, panah, parang, dan sat utas berisi sirih pinang.
Ketua adat akan memberikan perlengkapan tersebut menghadap utara, menuju pintu belakang arah ke timur untuk memimpin. Kemudian mereka menuju ke dalam hutan sebagai tempat ritualnya.
Ritual ini melibatkan pemenggalan kepala manusia sebagai penanda kedewasaan kaum laki-laki.
Pemenggalan kepala ini dijadikan sebagai mas kawin dari laki-laki ke pihak perempuan saat akan menikah.
Tradisi pemenggalan kepala untuk mas kawin ini berawal dari raja Suku Naulu dalam memilih calon menantunya.
Sebagai bukti kejantanan mereka, laki-laki harus membawa kepala manusia sebagai mas kawin.
Tradisi ini menjadi simbol kekuasaan dan kebanggaan. Mereka menjadikan kepala manusia ini sebagai persembahan pada nenek moyang.
Mereka juga percaya bahwa tradisi ini wajib dilakukan demi terhindar dari bahaya dan musibah.
Selain sebagai mas kawin, ritual pemenggalan kepala juga dilakukan dalam upacara adat, seperti mendirikan rumah adat baru.
Kepala yang dipenggal ini juga dipersembahan untuk para dewa.
Tradisi di Suku Naulu ini sempat dinyatakan hilang pada awal tahun 1900-an tetapi ternyata dari beberapa sumber mennjelaskan bahwa tradisi ini masih dilakukan hingga tahun 1940-an.
Pada tahun 2005 didapatkan kabar bahwa telah ditemukan dua mayat tanpa kepala di kecamatan Amahai, Maluku Tengah.
Setelah diidentifikasi, kedua mayat tersebut bernama Brusly Lakrane dan Bonefer Nuniary.
Nahasnya, mereka ditemukan dalam kondisi yang mengenaskan karena bagian tubuhnya telah dipotong-potong.
Seperti dikutip dari nationalgeographic.grid.id, hasil penyelidikan menunjukkan bahwa keduanya dibunuh oleh Suku Naulu untuk dijadikan persembahan kepada leluhur.
Pelakunya diketahui dua orang yang merupakan marga Sounawe, mereka melakukan ritual ini untuk memperbaiki rumah adat. Akhirnya pelaku pun dihukum.
Seiring perkembangan zaman, tradisi penggal kepala telah dihapus sehingga sudah tidak terdengar lagi adanya korban yang menjadi persembahan kepada dewa.*** (Aliya Farras Prastina)