
inNalar.com – Hampir kebanyakan masyarakat sepakat menyebut Yogyakarta sebagai kota dengan gaya hidup slow living paling ideal di Indonesia, termasuk kamu bukan?
Namun apakah kamu sudah tahu mengenai sebuah kota mungil di Jawa Tengah, berjarak 99 kilometer dari Yogyakarta, sudah lebih dulu dikenal demikian oleh para kompeni Belanda.
Jika menebak daerah manakah yang memiliki sisa-sisa jejak kolonial Belanda di Jawa Tengah, tentunya Semarang akan menjadi yang pertama terbersit dalam pikiran.
Baca Juga: Prediksi Liverpool vs Man United Liga Inggris 5 Januari 2024, Tragedi 7-0 Terulang Kembali?
Akan tetapi, soal budaya slow living apa iya Semarang termasuk di dalamnya? Melansir dari akun Instagram Uwitan, rupanya Salatiga lah kotanya.
Posisi geografis daerah mungilnya Jawa Tengah di ketinggian 450-825 Mdpl, tepatnya di lereng Gunung Merbabu memberikan iklim sejuk yang membuat orang-orang Belanda merasa tentram tinggal di sana.
Pemandangan aneka pegunungan dari Gajah Mungkur, Telomoyo, dan Payung Rong berhasil memberikan sentuhan alam Salatiga yang membuat siapa pun bisa me-recharge energinya.
Baca Juga: Jakarta dan Yogyakarta Masuk Kota Pelajar Terbaik di Dunia 2025, Mana yang No. 1 di Indonesia?
View memukau inilah yang membuat daerah slow living, Salatiga, banyak disebut oleh para kompeni sebagai De Schoonste Stad van Midderi-Java. Artinya, kota terindah di Jawa Tengah.
“Salatiga dikenal sebagai kota peristirahatan bagi pengusaha dan Pemerintah Hindia Belanda,” dikutip dari Uwitan pada Sabtu, 4 Januari 2025.
Sehingga pada abad ke-18, kota mungil yang ada di Jawa Tengah ini dipenuhi dengan rumah dan villa berasitektur khas kolonial.
Baca Juga: Jadwal Liga Inggris 4-5 Januari 2024 Siaran Langsung SCTV: Man Utd, Arsenal, Liverpool, dan Chelsea
Salatiga menjadi daerah hamparan perkebunan kopi sehingga rumah-rumah Belanda yang didirikan para kompeni lebih difungsikan sebagai tempat memantau hasil kebun mereka.
Lama kelamaan memasuki abad ke-20, kota mungil yang juga tidak jauh dari Yogyakarta ini dipandang para kolonialis sebagai daerah yang layak huni dengan segala gaya hidup slow living-nya.
Sebagaimana Yogyakarta, daerah ini pun juga sudah legendaris dipandang sebagai kota yang menyimpan budaya slow living paling ideal di Indonesia.
Melansir dari penelitian Widyaningsih dari Universitas Indonesia (2008) saat meneliti Yogyakarta sebagai daerah slow living pun terungkap alasan di balik sebuah daerah dipandang sebagai slow city.
Yaitu, ketika gaya hidup masyakarakat di daerahnya lebih menekankan kualitas kehidupan ketimbang mengejar kuantitas ekonomi dan berpacu pada waktu.
Kalau dalam istilah berbahasa Jawa ‘Alon-alon asal kelakon’, kenyamanan hidup lebih diutamakan di beberapa daerah termasuk Yogyakarta dan Salatiga di Jawa Tengah.
Kerinduan terhadap gaya hidup slow living pun ternyata sudah terpupuk sejak zaman penjajahan Belanda lho.
Pemicu terbesar keinginan seseorang hidup di kota dengan budaya slow living memang tergerak karena adanya gelombang modernisasi.
Namun budaya ini tidak muncul baru-baru ini saja. Gelombang tren gaya hidup perlahan ini sudah muncul sejak tahun 1999 di kalangan masyarakat Eropa.
Baca Juga: Mengenal Planet Nufo, Pesantren dan Sekolah Alam Bernama Unik Ini Berlokasi di Rembang
Ambisi modernisasi di Indonesia sejak zaman Belanda pun sudah terpupuk sejak fase kolonial, sebagian bukti konkretnya ada beragam jejak infrastruktur yang masih bisa kita saksikan hingga sekarang.
Contohnya jalan, rel kereta api, stasiun, dan berbagai fasilitas kota lainnya yang dibangun kolonialis demi kemajuan ekonomi negeri kita zaman pemerintahan Hindia Belanda.
Jadi jangan heran ya jika Salatiga sudah dikenal luas bahkan di kalangan penjajah Belanda sebagai kota dengan budaya slow living.
Tidak jauh berbeda dari Yogyakarta, kota mungil di Jawa Tengah ini juga menjadi daerah tempat short escape para kolonialis yang ingin lari dari hiruk pikuk duniawi mereka.
Kalau menurutmu, daerah dengan vibes slow living paling ideal di Indonesia berada di daerah mana?***