

inNalar.com – Sebelum Indonesia berdiri dalam bentuk pemerintahan republik, wilayah di Kalimantan Barat ini sudah jadi republik pertama.
Sebelum Indonesia berdiri, sejarah mencatat adanya sebuah republik pertama di Nusantara, yaitu Republik Lanfang, yang didirikan di Kalimantan Barat pada 1777.
Republik ini didirikan oleh seorang pemimpin keturunan Tionghoa bernama Low Fang Pak yang saat itu menjadi tokoh berpengaruh di komunitas perantau Tionghoa yang berdomisili di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.
Republik ini menjadi sebuah bukti unik tentang bagaimana sebuah pemerintahan republik berdiri jauh sebelum konsep republik diperkenalkan di Nusantara.
Pertama kali imigran Tionghoa datang pada tahun 1740 dengan tujuan untuk dijadikan pekerja Kesultanan Mempawah.
Kesultanan Mempawah ini diketahui sempat dekat dengan Majapahit sebelum berganti nama menjadi Kesultanan Melayu ketika masuknya islam.
Tahun 1750, Kesultanan Sambas menerapkan kebijakan yang sama dengan Kesultanan Mempawah, yakni mendatangkan orang Tionghoa.
Ketika itu banyak ditemukan tambang emas sehingga memerlukan tenaga kerja yang tidak sedikit.
Akibatnya, jumlah orang Tionghoa yang datang di Kalimantan Barat semakin banyak hingga menyentuh puluhan ribu pada tahun 1767.
Karena terlalu banyak, orang-orang Tionghoa tersebut mendirikan kongsi dagang per masing-masing wilayah tambang.
Awalnya jumlah kongsi hanya berjumlah 8, namun bertambah banyak hingga 14 kongsi. Mereka semua berada di bawah panji Kesultanan Sambas dan Mempawah, namun diberi kebebasan termasuk dalam menentukan pemimpin.
Kesultanan Sambas dan Mempawah tidak mempermasalahkan cara imigran Tionghoa tersebut dalam kehidupan mereka, termasuk ketika menambang emas.
Pihak kesultanan hanya meminta setiap kongsi yang terbentuk menyetorkan emas seberat 1kg per bulan.
Namun pada tahun 1770, Kongsi tersebut memulai aksi berontak dengan menolak memberikan 1kg emas tiap bulan. Mereka hanya bersedia menyetor 500 gram per bulan kepada kesultanan.
Pemberontakan tersebut dilakukan karena kondisi ekonomi mereka sudah lebih baik dari rata-rata orang Melayu dan Dayak.
Puncaknya terjadi perang dengan warga lokal dan mengakibatkan meninggalnya beberapa pejabat kesultanan dari Suku Dayak.
Perang tersebut membuat kesultanan marah, terutama Kesultanan Sambas. Saat itu Sultan Umar Aqamaddin II sebagai pemimpin mengirim pasukan untuk mengatasi konflik tersebut.
Terjadi perang dalam skala kecil dalam 8 hari yang pada akhirnya kelompok imigran Tionghoa menyerah.
Namun bukannya memberi hukuman, Sultan Sambas membiarkan mereka dan diperbolehkan kembali kerja di tambang emas. Namun wajib menyetor 1kg emas tiap bulan.
Tahun 1776, kongsi kembali bertambah banyak hingga ada 14. 12 diantaranya berada di Kesultanan Sambas yang berpusat di Montraduk.
Dan 2 lagi berada di wilayah Kesultanan Mempawah yang berpusat di Mandor. Semua Kongsi tersebut pada akhirnya membentuk aliansi pada tahun 1777 bernama Hee Soon.
Meskipun sudah menjadi aliansi, mereka menyatakan tunduk kepada Kesultanan Sambas dan Mempawah. Mereka diberikan otonomi untuk mengangkat pemimpin dan mengatur pertambangan dan wilayah sekitarnya.
Tujuan berdirinya aliansi tersebut adalah mengantisipasi konflik seperti yang pernah terjadi. Dari aliansi inilah awal mula Republik Lanfang.
Tahun 1778 saat berdirinya Kesultanan Pontianak membuka peluang bagi kongsi untuk memperloleh perlindungan jika bermasalah dengan Sambas dan Mempawah.
Terlebih lagi saat itu Pontianak sedang dalam posisi kuat karena mendapat dukungan dan VOC.
Lo Fang Pak pada saat itu juga menjalin diplomasi dengan Syarif Abdurrahman Al Qadri yang saat itu menjabat sebagai Sultan Pontianak.
Tahun 1789, Kesultanan Pontianak yang di bantu Belanda merebut Kesultanan Mempawah. Hee Soon yang saat itu dipimpin oleh Lo Fang Pak juga mendukung aksi perebutan wilayah ini.
Sejak saat itu, Sultan Pontianak memberikan otoritas kepada Lo Fang Pak dan mengelola kongsi-kongsi Tionghoa.
Sejak saat itu, Republik Lanfang resmi berdiri dan Lo Fang Pak terpilih sebagai pemimpin pertama.
Republik Lanfang bukanlah kerajaan atau kesultanan seperti kebanyakan wilayah Nusantara pada waktu itu.
Langfang memiliki parlemen, membuat aturan hukum, mengatur pemerintahan, penjara, pengadilan, dan pendidikan layaknya sebuah negara.
Republik ini mulai mengalami masa sulit ketika Belanda memperkuat posisinya di Nusantara pada pertengahan abad ke-19.
Akhirnya, pada tahun 1884, Republik Lanfang jatuh ke tangan Belanda setelah terjadi berbagai konflik.
Penaklukan ini mengakhiri sejarah panjang Lanfang sebagai republik yang otonom di Nusantara.
Keberadaan Republik Lanfang menjadi bukti nyata kontribusi komunitas Tionghoa di Nusantara.
Tidak hanya datang sebagai pekerja, tetapi juga membangun peradaban dan pemerintahan yang terstruktur dan mandiri.
Warisan Lanfang tidak hanya memberikan inspirasi dalam hal keberagaman sistem pemerintahan, tetapi juga menjadi saksi sejarah hubungan harmonis antara berbagai etnis yang hidup bersama di tanah Nusantara.***(Muhammad Arif)