

inNalar.com – Mega proyek pembangunan PLTA yang berada di Sumatera jadikan Indonesia miliki hutang Rp 24 triliun yang harus dibayarkan kepada China.
PLTA yang dibangun di tengah kawasan hutan Sumatera ini telah berlangsung sedari pertengahan tahun 2016 dan dijadwalkan selesai pada akhir tahun 2026.
Penggunaan ailiran sungai batang toru yang terbentuk secara alami di daerah Desa Sipirok, Kabupaten, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Baca Juga: Didesain Kuat Hingga 50 Tahun, Jembatan Pembelah Sungai Brantas di Jawa Timur Ini Bentuknya Unik
Awalnya terdapat pertentangan terhadap pembangunan PLTA yang digadang-gadang sebagai pemasok listrik di sebagian Pulau Sumatera ini.
Kerusakan dan gangguan ekosistem alam serta fauna membuat pembangkit listrik mengalami permasalahan mengenai kerusakan habitat orang utan.
Komitmen pemerintah terhadap zero emission dan menjaga lingkungan sekitar juga berlaku kepada habitat Orang Utan Tapanuli yang hanya berjumlah 700 individu.
Baca Juga: Pemerintah Kebut Pembangunan Tol IKN, Sisi Balikpapan Ditargetkan Bakal Rampung Akhir 2024
Dengan penanganan tepat dari pemerintah dan tender yang bekerjasama dalam pembangunan PLTA, seperti obligasi untuk bertanggung jawab terhadap konservasi orang utan di area pekerja pembangkit listrik, akhirnya bangunan ini lolos AMDAL.
Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru merupakan hasil kerjasama antara PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) sebagai pengembang dan pengelola.
Pemegang saham dalam pengembangan bangunan ini adalah State Development and Investmen Corporation (SDIC) dari China sebesar 70 persen, sedangkan untuk anak PT PLN Nusantara Renewbles sebesar 25 persen, untuk sisanya adalah perusahaan Asia Hydra.
Anggaran yang diberikan dari negara China untuk Mega proyek ini adalah sebesar US$ 1,6 miliar atau sekitar Rp 21 triliun.
Mega proyek ini adalah tujuan dari presiden Jokowi untuk terus mengembangkan dan memajukan proyek listrik nasional 35.000 MegaWatt.
Area yang digunakan untuk pembangunan proyek ini diatas lahan seluas 122 hektar yang menjadi tempat tinggal satwa endemik Sumatera Utara dengan kolam raksasa hanya 66 hektare.
Pengembangan pembangkit listrik diharapkan pemerintah dapat menaikkan rasio elektabilitas di wilayah Tapanuli Selatan sebesar 82 persen.
Serta energi yang berbasi Energi Baru Terbarukan (EBT) yang sedng dikembangkan ini dapat memenuhi kebutuhan litrik 15 persen di Sumatera Utara.
Alasan pemerintah memutuskan Sungai Batang Toru sebagai tempat yang cocok untuk meningktakan produktifitas listrik, karena mempunyai debit yang besar serta arus stabil.
Dengan kondisi tersebut turbin akan bisa bergerak dan menghasilkan daya listrik sebesar 510 MegaWatt (4×127,5 MegaWatt).
Listrik yang dihasilkan nantinya akan disalurkan melalui jaringan trnasmisi miliki PT PLN sebesar 275 kiloVolt.
Pemerintah berharap kepada PLTA Batang Toru dapat menurunkan biaya atau menghemat pengeluaran bahan bakar minyak (BBM) sebesar $ 383 juta atau senilai Rp 5 triliun per tahunya.
Hal tersebut juga akan berdampak langsung kepada masyarakat karena bisa menjaga tarif listrik tetap stabil dan kompetitif untuk industri.
Terdapat 3 Kecamatan di Sumatera Utara yang terkena dampak dari pembangunan mega proyek pembangkit listrik ini, diantaranya Sipirok, Marancar, dan Batang Toru.
Ketiga tempat tersebut akan mengalami pembangunan terkait pembangkit listrik, Kecamatan Sipirok akan dibangun waduk setinggi 72,5 meter untuk menampung debit air.
Kecamatan Marancar akan dipasangi 4 turbin raksasa untuk memperoleh daya listrik dan Batang Toru akan dibangun PLTA.
Selain hal itu, manfaat yang bisa diperoleh adalah dengan adanya lapangan pekerjaan baru yang bisa menopang ekonomi di masyarakat sekitar.
Peningkatan pendapatan pemerintah daerah dan pengurangan emisi karbon merupakan hal penting lainya yang bisa didapatkan dari pembangunan mega proyek ini.***(Wahyu Adji NUgraha)