

inNalar.com – Meski kepemimpinan berganti ke era Prabowo, proyek yang sempat meraksasa di Jawa Barat, bahkan skala nasional ini masih menjadi unggulan warga Jabar.
Presiden RI ke-7 Jokowi pun menyatakan bahwa PLTS ini merupakan yang terbesar di Asia Tenggara dan menduduki peringkat ketiga dunia.
Proyek pengoperasian PLTS ini merupakan hasil kolaborasi antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian BUMN, serta PT PLN Persero.
Baca Juga: Proyek PLTN di Indonesia Masih Sulit Realisasi Gegara Nimby Syndrome, Apa Itu?
Tak hanya melibatkan pihak internal, pembangkit listrik ini juga bekerja sama dengan Masdar dari Uni Emirat Arab.
Di Cirata sendiri telah berdiri PLTA berkapasitas 1.000 MW, dan dengan beroperasinya pembangkit ini, kapasitas akan bertambah sebesar 192 MWp.
Pemerintah terus mendorong optimalisasi seluruh potensi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia dengan mengandalkan teknologi untuk menghadapi tantangan EBT.
Satu tahun berjalan, PLTS Cirata menjadi bukti nyata komitmen Indonesia dalam pemanfaatan EBT.
Cerita di balik pembangunannya
Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terapung Cirata adalah Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dirancang untuk menyediakan energi bersih untuk sistem kelistrikan wilayah Jawa-Bali.
Baca Juga: Adopsi Teknologi Jerman, BJ Habibie Rupanya Pernah Bangun Reaktor Nuklir di Tangerang
Sesuai dengan namanya, pembangkit listrik ini dibangun di atas Waduk Cirata yang terletak di tiga kabupaten di Jawa Barat, yaitu Bandung Barat, Cianjur, dan Purwakarta.
Proses pembangunannya memakan waktu lebih dari tiga tahun.
Dalam pembangunannya terdapat pembagian saham antara dua pihak. 51% saham proyek pembangunan ini dipegang oleh PT PJBI yang merupakan anak perusahaan PLN.
Sementara 49%saham lainnya dipegang oleh perusahaan Masdar atau Abu Dhabi Future Energy Company PJSC.
Yakni perusahaan energi asal Uni Emirat Arab (UEA) yang pusatnya berada di Abu Dhabi
PLTS Cirata ini dapat memproduksi listrik dengan kapasitas 145 Mega Watt ac. Dengan daya sebesar ini, pembangkit listrik ini dapat mengaliri hingga 50.000 rumah.
Baca Juga: Ternyata Reaktor Nuklir Pertama di Indonesia Telah Dibangun Sejak 1965, Ini Sosok Pendirinya
Pembangkit ini terdiri dari 13 blok yang mencakup 340.000 panel surya. Total nilai investasinya mencapai angka fantastis, yakni 129 juta dolar AS atau setara dengan 1,9 triliun rupiah.
Melibatkan 1.400 pekerja proyek
PLTS ini dibangun oleh tangan anak bangsa, dengan pembangunan yang memprioritaskan penduduk setempat.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menyebutkan bahwa proyek besar ini melibatkan 1.400 pekerja.
Sebelum terlibat dalam proyek, para pekerja mendapatkan pelatihan capacity building selama tiga bulan untuk mempersiapkan adopsi teknologi yang digunakan.
Pada 3 Juli 2020, Kementerian BUMN menerbitkan Surat Persetujuan atas pengecualian untuk pengembangan PLTS Terapung Cirata melalui Resolusi Kementerian No. SK-315/MBU/12/2019.
Mengurangi Emisi Karbon
Pembangkit listrik tenaga surya ini juga berperan dalam menekan emisi karbon di Indonesia.
Proyek dengan nilai investasi sebesar 145 juta dolar AS ini mampu menghasilkan listrik “hijau” sebesar 245 Giga Watt hour (GWh) per tahun.
Produksi ini diperkirakan dapat mengurangi emisi karbon hingga 214.000 ton CO2 setiap tahunnya.
Meningkatkan Bauran EBT
Selain mengurangi emisi karbon, Presiden RI Joko Widodo menyatakan bahwa PLTS Terapung Cirata dapat meningkatkan porsi Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional.
Pemerintah berharap semakin banyak pembangunan energi terbarukan di Indonesia, seperti tenaga surya, hydro power, geothermal, dan tenaga angin.
Jika Indonesia terus konsisten mengembangkan EBT, hal ini diyakini akan menjadi investasi yang bermanfaat bagi masa depan negara.*** (Aliya Farras Prastina)