

inNalar.com – Yahya Zainul Ma’arif atau Buya Yahya menjawab sebuah pertanyaan dari seorang hadirin pada salah satu sesi ceramahnya mengenai urusan agama yang dibawa ke dalam ranah politik.
Pertanyaan yang diajukan kepada Buya Yahya adalah soal benarkah urusan agama dan politik perlu dipisahkan, sebab dikhawatirkan akan menimbulkan pertumpahan darah sebagaimana yang pernah terjadi saat kepemimpinan Sayyiduna Ali bin Abi Thalib yang berperang melawan Sayyidatuna Aisyah bint Abu Bakr dalam peristiwa perang Jamal.
Buya Yahya pun memberikan pendapatnya tentang boleh atau tidaknya agama dan politik disatukan.
Baca Juga: Viral Pria Berkaos Hitam Terekam CCTV Onani di Gang Sepi, Kemayoran Jakarta Pusat
Menurut Buya Yahya, agama memiliki pengaruh dalam mengatur kehidupan umat manusia, termasuk di dalamnya urusan politik.
“Agama yang akan menjadikannya semua teratur, termasuk urusan negara,” terang Buya Yahya.
Berdasarkan penjelasan Buya Yahya, pada hakikatnya, keadilan yang diharapkan dalam perspektif politik, sesungguhnya dimaknai pula dalam agama Islam.
Buya Yahya kemudian mengutip firman Allah subhanahu wa ta’ala QS Al Maidah ayat 3 yang artinya, “Pada hari ini, telah Aku sempurnakan agamamu untukmu…“. Menurutnya, agama berfungsi sebagai cara menjalani hidup setiap orang, termasuk dalam urusan politik.
Dalam ajaran Islam, disarankan bagi seseorang yang diangkat sebagai pemimpin ialah orang yang mengerti berbagai hukum perkara secara sempurna atau mujtahid.
Namun, Buya Yahya, dalam hal ini, berpandangan bahwa meskipun seorang pemimpin tidak mampu mencapai kesempurnaannya, maka setidaknya ia senantiasa berusaha memahami ilmunya agar ia dapat menjadi seorang yang mujtahid.
Baca Juga: Viral di TikTok dan YouTube, Kisah Dokter Wayan yang Obati Pasiennya di Rumah Kumuh Penuh Sampah
Pasalnya, berdasarkan penjelasan Buya Yahya, ketika seorang pemimpin mampu menjadi seorang yang mujtahid, maka ia akan bisa memaknai keadilan yang sesungguhnya.
Buya Yahya kemudian melanjutkan penjelasannya terkait kekhawatiran bilamana agama dan politik dapat menimbulkan pertumpahan darah di antara manusia.
Buya Yahya menerangkan bahwa peristiwa peperangan yang terjadi saat perang Jamal antara Ali bin Abi Thalib dan Aisyah bint Abu Bakr disebabkan oleh adanya pihak ketiga yang mengadu domba keduanya.
Baca Juga: Mengerikan! Bencana Tanah Longsor Melanda di Salah Satu Desa Kabupaten Ponorogo
Perlu diketahui sebelumnya bahwa peristiwa perang Jamal terjadi setelah adanya kejadian pembunuhan Khalifah Utsman bin ‘Affan.
Adapun pihak ketiga yang dimaksud dalam konteks ini adalah pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan.
Alasan pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan melakukan upaya adu domba terhadap Ali bin Abi Thalib dan Aisyah bint Abu Bakr, yaitu supaya pembunuh yang sebenarnya tidak akan terungkap.
Sehingga, menurut Yahya Zainal Ma’arif, konteks kisah tersebut tidak ditujukan untuk menggambarkan akibat dari adanya percampuran antara ranah agama dan politik dalam kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
Terkait pertumpahan darah yang terjadi di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perlu dilihat secara mendalam dan utuh. Artinya, tidak sebatas menggambarkan sebuah peperangan sebagai hasil dari adanya percampuran antara agama dan politik.
Adapun Buya Yahya memandang bahwa yang seharusnya perlu diperhatikan oleh umat muslim adalah bagaimana kita mampu berpolitik dengan indah.
Baca Juga: Virgoun Gugat Cerai Inara Rusli di Pengadilan Agama Jakarta Barat Hari ini
Hal ini karena agama pun memiliki peranan penting dalam terciptanya tatanan politik di sebuah negara.
Lebih lanjut, Buya Yahya mengajak umat muslim untuk ikut mempelajari bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin kaum muslimin pada zamannya dengan didasari oleh keyakinan agama yang mengakar kuat dalam dirinya.
Ketika seorang pemimpin mampu mempelajari sejarah kenabian dengan baik, tentunya kedamaian lah yang akan dihasilkan, bukan pertumpahan darah antar sesama.
Buya Yahya berpendapat bahwa ketika situasi yang dihasilkan dari perpaduan antara agama dan politik justru menimbulkan perselisihan, maka yang perlu dilihat adalah bagaimana seseorang menerapkan ajaran agamanya.
Yaitu, apakah seorang muslim telah menerapkan pemahaman agamanya dengan baik dan benar.***