Bekerja Terus Hingga Lupa Keluarga, Renungilah Refleksi Berikut!

inNalar.com – Pernahkah kamu membayangkan, di usia 10 tahun kamu harus bekerja membuat batu untuk menghidupi keluargamu. Ya, kehidupan memang terdengar kejam bukan. Tapi ingat, skenario tuhan lebih dari sekedar kejutan.

Disuatu pagi, terlihat beberapa orang yang tengah mengangkut batu bata merah ke atas truck. Beberapa yang lain sibuk membuat adonan dan sisanya menjaga perapian agar tetap menyala.

Diantara golongan usia kerja tersebut, nampak seorang bocah kecil yang tanpa mengenal peluh dan keluh, tersenyum membaur dengan beban orang dewasa. Tak ragu, ia adalah tulang belakang yang harus kokoh untuk menegakkan kerangka antusiasme bahkan menjaga denyut kehidupan agar berlaku semestinya.

Baca Juga: Ustadz Adi Hidayat Cara Mengingatkan Orangtua yang Bersikap Duniawi: Memperlihatkan Sikap dan Berprilaku Baik

“Afif, ayo kita turun ke bantaran sungai Bengawan Solo. Ayo, keburu hujan nih!” Ajak salah seorang pekerja kepadanya.

Ya itu namanya. Ditinggal oleh ayahnya merupakan titik awal yang merubah segalanya.

Kegiatan akademis di sekolah dan pondok pun harus diputus untuk berkompromi dengan realita finansial. Waktu itu, batu bata yang realistis lebih ia pilih daripada buku yang sebenarnya lebih menjanjikan impian masa depan.

Bahkan angkatan kerja harus ia masuki secara prematur untuk menyambung nafasnya serta ibu dan dua adiknya yang ikut bernyanyi memimpikan masa depan. Mereka selalu menunggu di pelataran rumah dengan penuh harap-harap cemas.

Baca Juga: Pengen Ambil Dana Haji saat Finansial Memburuk? Buya Yahya Ungkap Hukumnya Menurut Pandangan Islam

Berharap agar ia pulang membawa nafas dan secercah tapakan jalan menuju impian, mencemaskan keadaannya yang masih kecil tapi harus sudah melakukan tawar menawar dengan kerasnya hidup. Khususnya dengan arus aliran bengawan Solo.

Ya. Mungkin itulah mengapa jarak Rasulllah SAW bersama anak yatim di hari kiamat bagai jari tengah dan telunjuk yang saling berdekatan. Sangat dekat bahkan hingga seakan-akan tak berjarak.

Sebagai anak yatim, kehilangan ayah dan sosoknya selalu membuat peta baru dalam kehidupan. Mereka diwajibkan beradaptasi dengan keadaan yang berubah dengan cepat tanpa kira-kira.

Ditambah jika kehilangan tersebut terjadi di usia yang sangat belia. Bukan tidak mungkin, seorang anak yatim akan mencari sosok lain yang memerankan aktor ke-ayahan tersebut. Bisa jadi pengasuhnya baik atau sebaliknya.

Baca Juga: Hati-hati! Habib Ja’far Ungkap Pengaruh Media Sosial Terhadap Sikap Seseorang dalam Beragama

Tapi, yang lebih menggenaskan daripada itu adalah ketika nafas sang ayah masih ada, akan tetapi sosok dan fungsinya berkurang. Bahkan cenderung hilang. Ayahnya masih hidup tapi ke-ayahannya sudah tiada.

Tak jarang, pergaulan bebas pun merebak. Bisa jadi karena merasa tidak ada yang mengatur. Bisa pula dikarenakan depresi. 

Bahkan yang ekstremnya, dad issue ini menjadi pintu LGBT, perzinahan, narkoba, bahkan pembunuhan. Lagi-lagi bukan semata karena faktor finansial saja. Lebih dalam daripada itu.

Lantas, masih pantaskah kita pertaruhkan harta diatas keluarga?***(Dadang Irsyamuddin)

Rekomendasi