Balada Alihfungsi Hutan Kaltim Demi Megaproyek Jalan Tol di Balikpapan Berujung Ganti Rugi Lahan ‘Penguasa’ Tanah Negara


inNalar.com –
Barangkali tidak terlalu mengagetkan adanya persoalan alihfungsi hutan Kalimantan Timur (Kaltim) demi pembangunan jalan tol Balikpapan-Samarinda.

Namun menjadi menarik ketika hal ini justru membuat Pemerintah RI berujung harus ganti rugi tanah negara sendiri demi muluskan proyek jalan tol di Balikpapan, Kalimantan Timur.

Segalanya bermula saat empat daerah seluas 25,65 juta meter persegi ditetapkan sebagai lokasi pembangunan trase jalan raya bebas hambatan.

Baca Juga: Tak Hanya Biayanya yang Membengkak, Tol Probolinggo Banyuwangi Juga Sempat Terganjal oleh Masalah…

Dari jalan tol di Kalimantan Timur sepanjang 99,35 kilometer ini, diketahui 24 kilometer lahannya masuk kategori hutan konservasi.

Alhasil, Kementerian PUPR perlu mengalihfungsikan hutan tersebut sebelum membangun Jalan Tol Balikpapan-Samarinda.

Apabila ditinjau dari mekanisme perubahan status hutan konservasi itu sendiri sebenarnya proses alih status hutan terkesan dipaksakan.

Baca Juga: Ironi Wajah Infrastruktur IKN Rp8,5 Triliun, Megaproyek Jalan Tol di Balikpapan, Kalimantan Timur Ini Malah ‘Nyabet’ Alam

Mengingat menurut aturan dari Peraturan Menteri Kehutanan, pengalihfungsian lahan hanya berlaku pada status kawasan hutan produksi dan lindung.

Sebagai informasi terlebih dahulu, kawasan hutan konservasi yang dialihstatuskan di sini adalah Taman Hutan Raya Bukit Soeharto.

Meski begitu, pengalihfungsian status hutan ini tetap berjalan mulus berkat dukungan stakeholders lingkup Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.

Baca Juga: Dapat Suntikan Dana Rp7,4 Triliun, Jalan Tol di Jawa Timur Ini Ditargetkan Rampung pada Akhir 2024

Tidak heran karena seluruh pihak bersama memperjuangkan megaproyek Jalan Tol Balikpapan-Samarinda agar bisa terwujud.

Namun ternyata kewajiban Kementerian PUPR tidak berhenti sampai di permasalahan alihfungsi hutan konservasi saja.

Memang Taman Hutan Raya Soeharto statusnya telah keluar menjadi bukan hutan.

Fungsinya pun kini sudah beralih status sebagai Alokasi Penggunaan Lain (APL),

Namun Kementerian PUPR masih harus membayar ganti rugi lahan yang sudah terlanjur dikuasai oleh masyarakat yang telah menggunakan lahan bekas Taman Hutan Raya tersebut.

Dengan didampingi Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur, Kementerian PUPR pun mencermati kewajiban tersebut dengan hati-hati.

Permohonan legal opinion akhirnya dilakukan mengingat terdapat ‘penguasa’ tanah negara yang telah menggunakan lahan bekas taman hutan raya tersebut.

Hasilnya, dikarenakan status Taman Hutan Raya telah beralihfungsi sudah bukan hutan dan menjadi APL.

Maka kewajiban untuk ganti rugi benda yang ada di atas bekas tanah negara yang dimiliki oleh masyarakat ini pun tidak terhindarkan lagi.

Berdasarkan Pasal 40 UU Nomoro 2 Tahun 2012, “Salah satu pihak yang berhak mendapatkan ganti kerugian adalah pihak yang menguasai Tanah Negara dengan itikad baik,” dikutip dari penelitian Jurnal Tunas Agraria (2024: 15).

Lebih lanjut, penguasa tanah negara dengan itikad baik itu mencakup kriteria sebagai berikut.

Yakni, para penguasa lahan tanah negara yang berhak mendapatkan ganti rugi adalah mereka yang menggunakan tanah itu sesuai dengan hukum yang berlaku.

Secara hukum, masyarakat sebenarnya tidak memenuhi kriteria penguasa tanah negara dengan itikad baik.

Namun pengkajian dari perspektif sosialnya, melihat sejarah alihfungsi hutan dan pengembangan luas yang berubah-ubah membuka kemungkinan adanya penguasaan lahan oleh masyarakat.

Dengan melihat dari sisi hukum dan sosial itulah akhirnya Kementerian PUPR berlanjut perlu membayar ganti rugi lahan demi mewujudkan megaproyek jalan tol Balikpapan-Samarinda, Kalimantan Timur.***

Rekomendasi