Bak Hidup di Era 1980, Warga Kampung Naga di Tasimalaya Pilih Hidup Tanpa Listrik dan Gadget, Kenapa?

InNalar.com –  Kampung Naga yang terdapat di desa Neglasari Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, merupakan kampung yang masih kental dengan nilai adat istiadat.

Warga desa Kampung Naga Tasikmalaya memilih hidup terbelakang, jauh dari teknologi modern, hingga menolak pasokan listrik dari pemerintah.

Alasan utama warga Kampung Naga adalah untuk menjaga adat istiadat yang menjadi warisan nenek moyang mereka.

Baca Juga: Bak Bangunan Raksasa, Inilah Deretan Bendungan di Indonesia yang Dijuluki Terbesar se-Asia Tenggara

Untuk memasuki Kampung Naga, tak ada patokan harga tiket masuk, kalian hanya perlu membayar seikhlasnya.

Namun untuk menjelajahi Kampung Naga, diperlukan jasa seorang pemandu dengan biaya Rp 150.000. Pemandu biasanya berasal dari penduduk dari Kampung Naga.

Sesaat setelah memasuki kampung adat ini, kalian akan disambut dengan pemandangan area sawah yang hijau dan sungai Ciwulan yang jernih.

Baca Juga: Unik! Pertama di Indonesia, Jalan Tol Semarang – Demak Disokong Batang Bambu dari Bawah, Kok Bisa?

Pemandu biasanya akan mewanti-wanti akan beberapa larangan yang tak boleh dilanggar saat memasuki desa.

Deretan rumah panggung sederhana beratap injuk dengan model dan warna yang hampir senada menyambut.

Dilansir dari bahasan Kemdikbud, di desa ini bangunan rumah dan kamar mandi atau biasa mereka sebut jamban terletak berbeda.

Baca Juga: Menguak Kekuatan Bisnis Cendana pada Era Orde Baru Kepemimpinan Soeharto, Terlibat Sindikat Impor Mobil Mewah?

Khusus bangunan rumah biasanya berada di dalam pagar sedangkan untuk jamban area lesung dan juga kandang berada di luar pagar.

Alasan mengapa kamar mandi berada di luar rumah adalah agar tempat untuk beristirahat dan tempat untuk membuang kotoran dianggap perlu dibedakan.

Warga desa Kampung Naga percaya jika menyatukan rumah dengan jamban itu tak diperbolehkan karena dianggap tak baik.

Dalam desa yang tak ada listrik ini, saat memasuki waktu salat warga akan menabuh bedug.

Sedangkan pada saat-saat tertentu dimana warga diharapkan berkumpul, seseorang akan membunyikan kentongan. Hal ini karena tidak adanya pengeras suara di desa tersebut.

Hal yang unik dari Desa Kampung adat ini juga salah satunya adalah tidak boleh ada lebih dari satu KK yang tinggal dalam satu rumah.

Ini bertujuan agar para pengantin baru bisa hidup dengan lebih mandiri dan pihak suami bisa lebih bertanggung jawab.

Saat memasuki waktu petang warga Desa Kampung Naga mulai beramai-ramai menyalakan lentera yang digunakan untuk menerangi rumah mereka.

Suasana hening jauh dari kebisingan kendaraan maupun suara televisi, hanya ditemani dengan suara gemericik air, semilir angin yang berpadu dengan binatang malam.

Ketenangan yang jarang kitap dapat ini seolah mampu menjadi obat dari segala macam kepenatan yang didapat di kehidupan luar sana.

Saat pagi menjelang, para wanita sibuk menyiapkan makanan di atas tungku kayu bakar. Tak ada kompor gas, tak ada magicom, semua serba tradisional.

Bagian terpenting juga tak ada hiburan yang seringnya menyita waktu seperti handphone dan televisi disana.

Terkesan ribet memang, tapi berada di Kampung Naga seolah membawa kita kembali ke tahun 1980-an dimana semua masih hidup dalam kesederhanaan ayng membahagiakan.

Bagaimana? tertarik healing ke Kampung Naga untuk melepas penat sesaat? jadwalkan sekarang. ***

 

Rekomendasi