

inNalar.com – Pada masa kepemimpinannya, Jokowi mengeluarkan aturan mengenai pasir laut yang dipredikasi bahwa negara akan peroleh cuan hingga Rp2,5 triliun.
Namun, menurut berbagai kajian, pendapatan Indonesia dari aturan ini diperkirakan hanya bertambah dalam jumlah yang sangat kecil.
Hal tersebut menjadi sorotan dan memicu banyak kritik dari berbagai pihak, baik kalangan akademis, pakar ekonom, politik maupun masyarakat umum.
Baca Juga: 5 Rekor Baru yang Dicetak Oleh Timnas Indonesia Dalam Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia
Melansir peraturan.bpk.go.id, pada Jumat (22/11/2024), Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 Tahun 2024 mengensi asal barang impor melalui Ketentuan Asal Barang (KAB) dan Surat Keterangan Asal (SKA).
Hal ini untuk melindungi industri dalam negeri dari lonjakan impor serta memastikan kepatuhan pada aturan perdagangan internasional.
Menurut Wawan Sunarjo dari Kementerian Keuangan, jika sedimentasi laut yang dijual mencapai 50 juta meter kubik, penerimaan negara bisa mencapai Rp2,5 triliun.
Baca Juga: Truk Bermuatan Aki Tabrak Toko Laundry di Turunan Silayur Semarang, Dua Tewas dan Tiga Luka Berat
Angka tersebut didapatkan berdasarkan pada perhitungan berbasis harga ekspor, yaitu Rp198 ribu per meter kubik dengan tarif PNBP 35%.
Sementara itu, untuk kebutuhan domestik, pasir laut dari Indonesia ini dihargai sebesar Rp93 ribu per meter kubik dengan tarif PNBP 30%.
Dari total 50 juta meter kubik yang diestimasi, 22,5 juta meter kubik dialokasikan untuk ekspor, sisanya untuk kebutuhan domestik.
Baca Juga: Pesisir Demak Bakal Dikeruk, Proyek Prabowo Ini Disebut Berpotensi Ciptakan 36.400 Pengangguran
Namun, Wawan mengingatkan, angka tersebut masih simulasi awal, belum ditetapkan target resmi penerimaan, karena eksplorasi ini butuh keterlibatan penelitian dan berbagai kementerian.
Penelitian wajib memastikan bahwa sedimentasi laut tidak mengandung mineral. Jika ditemukan kandungan mineral, eksplorasi akan dibatasi dan pasir tersebut tidak diizinkan untuk diekspor.
Di sisi lain, studi yang dilakukan CELIOS (Center of Economic and Law Studies), suatu lembaga yang berfokus pada penelitian ekonomi dan politik di Indonesia.
Baca Juga: Jangan Skip! Pejuang CPNS 2024, Ini Bocoran Materi SKB yang Paling Sering Muncul di Setiap Formasi
Hasil penelitiannya, Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, menjelaskan, dampak ekspor pasir laut terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) diprediksi negatif hingga Rp1,22 triliun.
Pendapatan masyarakat juga diprediksi turun Rp1,21 triliun. Bahkan, kontribusi langsung ke penerimaan negara diprediksi hanya bertambah Rp170 miliar, jauh lebih kecil dari klaim pemerintah.
Menurut CELIOS, keuntungan utama dari ekspor pasir laut hanya dinikmati kalangan-kalangan tertentu, seperti halnya segelintir pengusaha.
Baca Juga: Pengumuman Terbaru Hasil Seleksi Pasca Sanggah PPPK Kemenag 2024 Sudah Keluar, Ini Isinya!
Estimasi keuntungan pengusaha mencapai Rp502 miliar, tetapi sektor perikanan justru mengalami kerugian hingga Rp1,59 triliun.
Kerugian tersebut bahkan tidak hanya berupa penurunan nilai tambah bruto, tetapi juga hilangnya lapangan pekerjaan.
Diperkirakan 36.400 nelayan akan kehilangan mata pencaharian mereka akibat berkurangnya hasil tangkapan ikan di laut.
Pasalnya, model penambangan pasir laut bersifat padat modal dan tidak menciptakan lapangan kerja yang signifikan bagi masyarakat lokal.
Oleh karenanya, praktik kebijakan yang dilakukan pemerintah ini justru meningkatkan risiko pengangguran di wilayah pesisir.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS, menambahkan, kerusakan ekosistem laut menjadi masalah serius. Terumbu karang rusak, erosi pantai meningkat, dan biodiversitas laut terancam hilang.
Selain itu, Indonesia juga kehilangan potensi Blue Carbon. Diperkirakan, Indonesia memiliki 17% dari total karbon biru dunia atau setara 3,4 gigaton. Ini berperan mendukung kredit karbon Rp994,5 triliun.
Menurut Bhima, data historis 2001- 2009 menunjukkan, ekspor pasir laut selalu berkorelasi negatif dengan produksi perikanan tangkap sehingga tidak bermanfaat signifikan bagi ekonomi lokal.
Sebaliknya, CELIOS merekomendasikan untuk mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023. Langkah ini dianggap perlu untuk melindungi ekosistem pesisir dan kesejahteraan masyarakat nelayan.
Sebagai alternatif, pengembangan ekonomi berbasis lingkungan seperti ekowisata, budidaya rumput laut, dan pengolahan produk perikanan bernilai tambah dinilai lebih berkelanjutan.
CELIOS juga mendorong program restorasi ekosistem laut yang telah rusak akibat pencemaran, reklamasi, dan penambangan pasir. Rehabilitasi ini penting untuk mengembalikan fungsi ekologis laut.
Potensi ekonomi biru Indonesia, jika dikelola berkelanjutan, jauh lebih besar dibandingkan keuntungan sementara dari ekspor pasir laut. Langkah ini juga sejalan dengan target pemerintah dalam optimalisasi kredit karbon.
Kritik terhadap kebijakan ekspor pasir laut menunjukkan pentingnya keseimbangan eksploitasi SDA dan pelestarian lingkungan. Ini menjadi ujian bagi komitmen pemerintah dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Melalui pendekatan lebih bijaksana, Indonesia dapat memastikan bahwa sumber daya laut memberikan manfaat jangka panjang tanpa mengorbankan ekosistem. Seperti halnya opsi pembangunan pesisir yang berkelanjutan. *** (Gita Yulia)