Alasan Soeharto Bertahan 32 Tahun Jadi Presiden: Cerdik Kelola Organisasi Partai Hingga Praktik ‘Koncoisme’?

inNalar.com – Banyak yang bertanya-tanya, apa alasan Soeharto bertahan 32 tahun duduk di kursi presiden Indonesia?

Bahkan tak ada seorang pun yang dapat menjamin Soeharto bisa turun dari kursinya. ‘Kalau sudah duduk, ia lupa bangun’, kiranya begitu kiasannya.

Kisah Soeharto ini memang menuai banyak kontroversi, dan tentunya dapat menaikkan popularitas dirinya sampai nanti.

Baca Juga: Unik! Pasar Tradisional di Tanah Datar, Sumatera Barat Ini Transaksinya Menggunakan Bahasa Isyarat, Kok Bisa?

Dikutip inNalar.com dari buku berjudul “Biografi daripada Soeharto” karya A. Yogaswara, inilah alasan Soeharto bertahan 32 tahun.

Cerdik Mengelola Organisasi Partai

Kecerdikan mengelola organisasi-organisasi partai, dan melemahkan parlemen yang berpotensi menjadi pesaing adalah kunci kekuasaan selama 32 tahun.

Ali Moertopo, kawan dekat Soeharto, memiliki banyak jasa dalam hal ini. Ia menjinakkan parlemen ‘berbahaya’ dengan cara mereorganisasi pemimpin partai.

Baca Juga: Intip di Balik Pembangunan Keindahan Terowongan Kembar Terpanjang Pertama di Indonesia yang Habiskan Dana 20 T

Tak jarang, pemerintah menyisipkan orang-orang dalamnya menjadi pemimpin partai, seperti yang terjadi pada PNI.

PNI, yang termasuk partai besar pada masa Orde Lama berhasil dijinakkan dengan menempatkan Hadisubeno, teman dekat Soeharto.

Begitu pula Parmusi (Partai Muslim Indonesia) yang memiliki hubungan dekat dengan organisasi Masyumi yang telah dilarang sejak tahun 1960.

Baca Juga: Terungkap, Soeharto Pernah Tolak Tawaran Soekarno Tapi Malah Naik Jadi Presiden: Gak Ada yang Lain?

Parmusi yang mendukung PRRI, membuatnya sering dijadikan mainan politik oleh kawan Soeharto, Ali Moertopo.

Segala bentuk rekayasa partai ini sebenarnya ditujukan untuk satu maksud, yaitu kemenangan besar secara demokratis.

Demi meraih kemenangan tersebut, tentu Soeharto membutuhkan wadah dan kendaraan golongan partai untuk menggapainya.

Dipilihlah partai Golkar. Awalnya, Ali Moertopo menolak karena orang-orang Golkar kebanyakan Soekarnois.

Namun, Soeharto memiliki pandangan yang berbeda. Ia menyebut, Golkar adalah wahana yang pas, karena memiliki politisi yang menonjol.

Aksi pun dimulai. Ali Moertopo membesarkan partai Golkar, dan menganjurkan pegawai negeri untuk memilih Golkar.

Cerdiknya, pemilihan dilaksanakan di kantor, sehingga siapapun yang tidak mencoblos Golkar berpotensi ketahuan.

Soeharto juga mulai melakukan kampanye. Ia mendekati organisasi muslim. Mereka dinaikkan haji dan dibangunkan tempat ibadah.

Lakukan Praktik ‘Koncoisme’

Loyal dengan teman atau konco dalam bahasa Jawa, merupakan karakter Soeharto, tanpa peduli dampak yang ditimbulkan.

Bangkrutnya perusahaan Pertamina adalah bukti adanya praktik koncoisme. Pertamina yang berdiri sejak 1957 dikelola oleh Ibnu Sutowo.

Ibnu Sutowo sendiri adalah kawan Soeharto. Ia dibebaskan mengelola perusahaan semaunya, bahkan seolah diberi jaminan keamanan.

Karakternya yang agresif, lama-lama menimbulkan bau ke-sembrono-an. Pertamina yang diharapkan mampu menopang ekonomi Indonesia malah bangkrut.

Ibnu Sutowo, telah diberi izin Soeharto melakukan ekspansi semaunya sendiri ke berbagai bidang yang tak berkaitan dengan minyak.

Ia bahkan menginvestasikan uang ke restoran New York. Dalam kurun waktu 5 tahun, pendapatan Pertamina melonjak fantastis.

Awalnya Rp 66,5 miliar, menjadi Rp 957,2 miliar. Hal ini membuat Ibnu Sutowo dengan rumah mewahnya disorot mahasiswa, namun Soeharto semakin percaya kepadanya.

Pada tahun 1974, akhirnya Pertamina mendapat masalah besar. Semena-mena, Pertamina menghentikan pembayaran pajaknya kepada negara.

Ibnu Sutowo lupa bahwa uang investasinya adalah pinjaman yang harus dibayarkan, sementara Soeharto diam saja.

Inilah yang membuat rakyat protes. Setelah hutang 10,5 miliar dolar Pertamina terungkap, barulah Soeharto kebingungan membayarnya. ***

 

Rekomendasi