

inNalar.com – Meski memberikan keuntungan terbesar dari ekspor pasir laut laut, tepatnya pada masa Presiden Megawati, Pemerintah akhirnya memutuskan untuk melarang kegiatan ekspor pasir laut sejak tahun 2003 melalui SK Menperindag No.117/MPP/Kep/2/2003
Besaran kontribusi untuk negara pun tembus angka Rp 200 triliun, angka yang sangat fantastis dan terdengar menggiurkan. Adakah sisi terang yang menjadi stimulus dibalik keputusan kontroversial perihal kebijakan pelaragnga ekspor pasir laut oleh Pemerintah?
Meskipun pernah menyandang title “Raja Ekspor Pasir Laut Internasional”, tampaknya title yang disandang oleh Indonesia tidak memberikan keuntungan jangka panjang bagi negara.
Baca Juga: Kontroversi Kebijakan Ekspor Pasir Laut: DPR Sebut Kemiskinan RI Bakal ‘Gali Lubang Tutup Lubang’
Menyadur Youtube Ngomongin Uang, meski memberikan keuntungan yang maksimal, dampak destruktif akibat aktivitas ini faktanya sangat mengerikan.
Seperti yang telah terjadi di Pulau Nipah Batam dan Pulau Sebatik di Kalimantan.
Tidak mengherankan apabila Pemerintah seringkali mendapatkan kritik-kritik tajam dari aktivias pemerhati lingkungan karena di beberapa titik tambang tersebut seringkali dilanda erosi.
Melansir berkas dpr.go.id, kegiatan pengerukan pasir laut secara ugal-ugalan dapat menyebabkan krisis ekologi skala besar karena mengubah kondisi oseanografi, memperkeruh kualitas air laut, dan bahkan mengganggu aktivitas nelayan kecil.
Sebagai langkah preventif dalam menangani kasus ini, sudah seharusnya Pemerintah Indonesia mengaplikasikan prosedur yang ramah lingkungan.
Melansir jdih.kkp.id, hal tersebut dapat dilakukan dengan pendigdayaan teknologi canggih yang dapat memisahkan komponen sumber daya namun mengancam dan merusak ekosistem biota laut secara permanen.
Artinya, aktivias ekspor hasil laut ini tidak diperbolehkan untuk mengubah fungsi ruang yang telah ditetapkan.
Pemerintah Indonesia pun telah menyadari bahwa kerusakan jangka panjang di wilayah eksploitasi pasir laut hanya memberikan keuntungan sesaat.
Bahwa, pulau-pulau yang telah dirusak tersebut faktanya menambah beban pengeluaran negara.
Terhitung sejak 21 tahun lalu, Pemerintah telah memutuskan untuk melarang aktivitas ekspor pasir laut sejak tahun 2003 lalu dengan meninjau sisi degradasi lingkungan yang semakin besar.
Meski telah dilayangkan beberapa protes dari pengusaha ekspor pasir laut, Pemerintah harus tetap pada pendiriannya. Memang, volume pasir laut di Indonesia ini melimpah ruah.
Namun perlu dicatat bahwa komoditas tersebut menjadi bagian penting dari ekosistem laut Indonesia.
Baca Juga: Baru Diresmikan, Mall Megah Senilai Rp843 Miliar di Jawa Barat Ini Malah Kena Protes Warga
Meksipun surplus Rp 200 triliun, bagaimana nasib pulau-pulau yang menjadi titik tambang jika hal ini terus dilakukan?
Terdengar menggiurkan, namun jika memberikan dampak kerusakan jangka panjang tentu hal ini harus dikaji ulang.
Dengan kebijakan larangan ekspor pasir laut, generasi muda Indonesia bisa belajar bahwa kita harus konsisten untuk menjaga kekayaan alam untuk generasi mendatang.
Bumi Indonesia bukan hanya sekedar warisan, melainkan suatu anugerah yang harus kita jaga. Marilah kita jaga kekayaan alam ini agar tetap lestari. *** (Evie Sylviana Dewi)