Akhirnya Terungkap! Istana Megah di Hutan Jati Lamongan Seluas 5 Hektar Milik Raja Besar Jawa Timur


inNalar.com
– Siapa sangka, di dalam hutan Jati Lamongan, tersembunyi jejak istana megah milik salah satu raja paling berpengaruh dalam sejarah Jawa Timur.

Kini semakin banyak temuan historis dan arkeologis yang memperkuat dugaan Kabupaten Lamongan dulunya adalah pusat kekuasaan Raja Airlangga.

Airlangga merupakan seorang raja yang bisa mengangkat kembali kejayaan Jawa Timur pasca bencana besar Pralaya pada abad ke-11.

Menurut jurnal pendidikan sejarah terbitan Universitas Negeri Surabaya (UNESA), kerajaan pertama Raja Airlangga bernama Wwatan Mas diduga kuat berada di Slaharwotan, Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan.

Selain itu, temuan prasasti dan situs arkeologis seperti Dahanpura dan Pamwatan di wilayah Sambeng juga memperkuat bahwa Lamongan adalah pusat pemerintahan Raja Airlangga.

Dengan luas lahan sekitar 5 hektar, istana ini konon pernah berdiri megah meskipun kini berubah jadi hutan jati.

Berikut ini jejak-jejak pemerintahan Raja Airlangga di Kabupaten Lamongan.

1. Prasasti Cane

Prasasti Cane ditemukan di Dusun Cane, Desa Candisari, Kecamatan Sambeng, Lamongan. Wilayah ini tak hanya kaya akan situs arkeologis, tetapi juga menyimpan sejarah mendalam.

Penemuan tersebut diperkuat dengan temuan pecahan keramik, perhiasan emas hingga koin gobog China di sekitar lokasi.

Menariknya, Prasasti Cane sempat tercatat sebagai koleksi penting Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada masa koleksi dan kini disimpan di Museum Nasional Indonesia sejak 1862.

Isi dari Prasasti Cane yang bertarikh 27 Oktober 1021 Masehi (943 Saka) menjelaskan bahwa Raja Airlangga memberikan status perdikan (daerah bebas pajak) kepada Desa Cane.

Fakta ini sekaligus membuktikan bahwa Lamongan sekadar wilayah pinggiran, tapi bagian vital dari sistem pertahanan dan administrasi kerajaan.

2. Prasasti Pamwatan

Prasasti Pamwatan atau Pamwotan ditemukan di Desa Pamotan, Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan. Prasasti ini penanda penting fase akhir pemerintahan Raja Airlangga.

Sayangnya prasasti aslinya hilang, tercatat terakhir kali terlihat pada Sabtu 21 September 2002. Keberadaannya sempat terdokumentasi dengan baik dalam laporan kolonial seperti Rapporten van de Oudheidkundige Commissie (ROC) tahun 1907 dan catatan Verbeek (1891).

Dalam katalog peninggalan purbakala Hindia-Belanda, prasasti Pamwatan sebagai Verbeek no.435 dan berasal dari tahun 964 Saka atau 19 Desember 1041 Masehi.

Hal ini menjadikannya sebagai salah satu prasasti terakhir yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga, menandai fase penutup dari pemerintahannya sebelum kerajaan dibagi menjadi dua.

Pembacaan awal prasasti Pamwatan dilakukan oleh epigraf terkemuka L.C. Damais. Ia mengungkap bahwa prasasti tersebut dikeluarkan oleh Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa.

Sebuah gelar panjang yang menandakan kekuasaan mutlak Raja Airlangga atas wilayah Jawa Timur saat itu.

Di lain sisi, gelar Rakai Galu yang disematkan pada Airlangga jadi petunjuk awal tentang struktur kekuasaan kala itu.

Menurut susunan Mahamantri Katrini (rakryan i hino, i halu, i sirikan) menunjukkan bahwa Airlangga berada di posisi kedua dalam hierarki calon tahta. Namun, interpretasi lain menyebut bahwa Halu bisa jadi nama wilayah tempat ia membangun kekuatan.

Sebagian besar ahli arkeologi dan epigrafi menduga bahwa Halu terletak di pesisir utara Jawa Timur, kemungkinan besar di Lamongan.

Data ini diperkuat berdasarkan petunjuk dalam Prasasti Cane yang menunjukkan bahwa Wwatan Mas adalah pusat kekuasaan Airlangga di awal masa pemerintahannya.

Dalam prasasti tertulis:

“Maniratnasinghasana makadatwan ri Wwatan Mas…”

(Terjemahan: di singgasana permata keraton di Wwatan Mas…)

Wwatan Mas diyakini berlokasi di Desa Slaharwotan, Kecamatan Ngimbang, Lamongan.

Selanjutnya, Airlangga memindahkan pusat pemerintahannya ke Kahuripan, sebagaimana tertulis dalam Prasasti Kamalagyan tahun 1036 M.

Dalam prasasti itu, digambarkan bahwa pemerintahan Airlangga di Kahuripan membawa berkah dan keadilan, layaknya air amerta yang membasahi bumi:

“…makadatwan i Kahuripan, an sira saksat sumiram iking rat kabeh ring anuragamrta…”

(Terjemahan: beristana di daerah Kahuripan seolah-olah membasahi seluruh dunia dengan kebaikan berupa air amerta…)

Sayangnya, hingga kini lokasi pasti Kahuripan masih menjadi misteri sejarah. Namun, beberapa peneliti menduga lokasi ini tidak jauh dari wilayah Lamongan dan Sidoarjo, mengingat konteks geografis dan sebaran prasasti pendukung di sekitarnya.