Ada 2 Aturan Tumpang Tindih di Lingkup Pendidikan Tinggi, Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat Ingatkan Ini

inNalar.com – Seakan dunia akademik belum cukup melelahkan dengan revisi tanpa akhir dan skripsi yang lebih sulit diselesaikan daripada menunggu janji politisi, kini mahasiswa dan dosen juga harus bergulat dengan regulasi pendidikan tinggi yang lebih kacau dari sinetron tayang tengah malam.

Wakil Ketua MPR RI sekaligus anggota Komisi X DPR RI, Lestari Moerdijat atau yang akrab dikenal Rerie, dengan nada yang sudah kelelahan menghadapi kekacauan, menegaskan bahwa regulasi pendidikan tinggi di Indonesia lebih semrawut daripada kabel listrik di pasar tradisional.

Ia mengingatkan, sebelum kekacauan ini berubah menjadi bencana akademik nasional, perlu ada pemetaan yang jelas, bukan sekadar tambal sulam yang malah bikin bolong makin besar.

Baca Juga: Bab 5 Subbab Kegiatan 2, Kunci Jawaban Soal Bahasa Indonesia kelas 10 SMA Hal. 204 Kurikulum Merdeka Edisi Revisi

Salah satu contoh paling ironi adalah bentroknya dua aturan yang mengatur kompetensi dosen. Apakah Anda mengetahuinya? Pasal 26 PP Nomor 37 Tahun 2009 yang notabene-nya adalah turunan dari UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Dalam UU tersebut, telah diamanatkan bahwa dosen wajib meningkatkan kompetensinya melalui pelatihan, seminar, dan lokakarya. Bagus, bukan? Eits, tunggu dulu!

Di sisi lain, PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), yang merupakan anak dari UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, justru membatasi pengembangan kompetensi dosen hanya dalam 24 jam pelajaran per tahun.

Baca Juga: Bab 6 Berkarya dan Berekspresi Melalui Puisi, Kunci Jawaban Bahasa Indonesia kelas 10 SMA Hlm. 226 Kurikulum Merdeka Edisi Revisi

Ibarat menyuruh orang diet ketat, tapi tetap wajib makan tiga kali sehari dengan porsi all-you-can-eat. Lalu kalau dosennya bingung? Ya salah sendiri, kenapa mau jadi dosen?

Tak heran jika Rerie,menegaskan bahwa regulasi yang penuh dengan tafsir liar ini harus segera diperbaiki. “Kita harus membiasakan diri untuk tidak menabrak aturan yang ada,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan MRPTNI dan Komisi X DPR-RI di Gedung Nusantara I.

Seolah aturan yang bertolak belakang belum cukup menguji mental insan akademik, kini muncul lagi fenomena pemblokiran anggaran pendidikan.

Baca Juga: Bolehkah Muslim Nonton Mukbang ASMR saat Puasa Ramadhan? Begini Kata Ustadz Wijayanto

Dalam pelaksanaan Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam APBN dan APBD, banyak anggaran penting yang terkena imbas pemotongan ala kadarnya. Di atas kertas, ini terdengar seperti langkah cerdas untuk menghemat anggaran, kan?

Namun, jikalau pemotongan ini menyasar Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN), hingga program bantuan mahasiswa kurang mampu, ini lebih mirip sabotase daripada efisiensi.

Kalau dana operasional dipangkas habis, universitas mungkin harus mulai menjual merchandise, membuka layanan kursus kilat berbayar, atau siapa tahu, menyewakan ruang kelas untuk pesta pernikahan demi menutup biaya operasional.

Sebagai tambahan dari semua kekacauan ini, ada satu lagi realitas getir yang dihadapi perguruan tinggi: para dosen senior dengan keahlian langka satu per satu memasuki masa pensiun.

Seharusnya, ini bisa diantisipasi dengan perekrutan dosen baru, bukan? Tapi ini adalah logika yang salah besar!

Baca Juga: 3 Resep Tumisan Sederhana dan Praktis, Menu Buka Puasa Ramadhan Anak Kos Banget, Enak Gak Perlu ke Warteg!

Sebagai tambahan informasi, proses perekrutan dosen baru lebih rumit dari prosedur mengurus visa ke luar negeri. Jika ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin mahasiswa di masa depan hanya akan belajar dari YouTube dan Google Search.

Rerie pun mengingatkan bahwa jika masalah ini tidak segera ditangani, keberlanjutan dunia akademik Indonesia akan setara dengan mitos belaka.

“Bila dampak kondisi ini tidak segera diantisipasi, nasib keberlanjutan belajar mahasiswa jadi tidak jelas,” ujarnya dengan nada yang mungkin lebih terdengar sebagai peringatan keras daripada sekadar imbauan.

Baca Juga: Masjid Terpopuler di Jogja Ini Berbagi Takjil Gratis 4.000 Porsi saat Ramadhan, Anggaran Hariannya Fantastis!

Seperti sinetron yang tidak kunjung tamat, regulasi pendidikan tinggi di Indonesia terus memproduksi episode baru dengan alur yang makin rumit.

Mulai dari aturan yang saling bertabrakan, efisiensi anggaran yang lebih mirip pemborosan berkedok penghematan, hingga proses regenerasi dosen yang tersendat seperti jalan tol macet di hari libur panjang.

Sudah saatnya semua pihak berhenti menjadikan dunia akademik sebagai ajang eksperimen kebijakan yang tidak jelas arahnya.

Jika tidak, kita hanya akan terus berputar-putar dalam lingkaran absurd ini, seperti orkestra yang setiap pemainnya memainkan nada berbeda, tanpa ada yang benar-benar tahu partitur mana yang harus diikuti. ***