
Di banyak penjuru dunia, kampung-kampung sibuk membangun peradaban demi mengejar arus kemajuan zaman.
Tetapi, di belahan lain justru terdapat sejumlah kampung yang memilih jalan berbeda. Mereka tidak punya satupun jalan raya, hanya kanal-kanal tenang, perahu kayu yang melintas pelan dan jembatan kecil yang menghubungkan antar rumah ke rumahnya.
Bahkan, para penduduk kampung teraneh di dunia ini sampai harus memanjat tebing demi bisa mengakses pendidikan maupun ke pasar.
Di sisi lain bahkan ada yang lebih terpencil hingga untuk mencapainya harus menyebrangi lautan selama berhari-hari.
Keunikan dan keanehan ini tentu membentot rasa penasaran mendalam. Mulai dari bagaimana budaya yang berlaku dan cara warganya bertahan hidup.
Oleh sebab itu, untuk menjawab rasa penasaran Anda berikut inNalar.com rangkum 8 fakta kampung teraneh di dunia yang bikin mata Melongo, Minggu (28/9/2025).
Kampung teraneh di dunia nomor sepuluh diduduki sebuah kampung yang berada di kaki pegunungan Rif. Namanya desa Chefchaouen, Maroko.
Chefchaouen nyaris sepenuhnya tenggelam dalam warna biru. Hal ini dikarenakan seluruh rumah penduduknya dicat warna biru.
Terlihat, setiap atap rumah, dinding hingga anak tangganya dicat biru terang. Tentu, ini menimbulkan pertanyaan: “Kenapa seluruh rumah memilih satu warna saja?” “Apakah ini tradisi turun-temurun atau strategi bertahan hidup?”
Mengutip laman tripzilla.id, Chefchaouen berdiri pada abad ke 15 sebagai benteng kecil yang digunakan untuk melawan pasukan Portugis. Namun, babak uniknya dimulai pada abad ke-16 ketika para pengungsi Yahudi Spanyol datang dan membawa tradisi mengecat rumah dengan warna biru sebagai simbol langit dan surga.
Seiring waktu warna ini bukan hanya kepercayaan tapi menjadi identitas yang melekat pada setiap sudut desa.
Keunikan kampung di Maroko tersebut menjadikan destinasi wisata paling fotogenik di dunia. Wisatawan yang mendatangi lorong-lorong sempit Chefchaouen, akan disuguhkan pada suasana seperti masuk ke dalam mimpi yang tenang.
Saat langkah kaki menyusuri tangga berliku seketika akan mencium semerbak aroma rempah dari pasar yang bercampur dengan wangi cat yang segar.
Pantulan sinar matahari yang memantul dari dinding biru menciptakan kilau yang membuat mata sulit berpaling dari keindahan kampung Chefchaouen.
Di dunia yang semakin seragam dan cepat berubah, Chefchaouen lebih memilih bertahan dengan keunikan tersebut yang dianggap aneh oleh orang luar.
Tepat di tepi danau Brienz yang airnya sebening kristal, berdiri sebuah kampung yang begitu tenang, sampai-sampai kamu bisa mendengar suara dayung perahu dari kejauhan.
Iseltwald bak sebuah negeri dongeng yang terlepas dari sebuah buku cerita dan mendarat di bumi.
Kampung ini sudah ada sejak abad pertengahan, awalnya sebagai kampung nelayan dan pengrajin kayu yang hidup dari danau dan hutan sekitarnya.
Karena lokasinya terpencil dan aksesnya sulit, kampung ini nyaris tak tersentuh modernisasi selama ratusan tahun. Hanya ada satu jalan utama yang menghubungkannya ke dunia luar. Hal ini membuat Iseltwald seakan terpisah dari ritme cepat abad 21.
Keunikan kampung tersebut bukan hanya terletak pada pemandangannya yang bikin nafas tercekat. Jumlah penduduknya pun tak sampai 500 orang, tapi setiap tahun kampung ini dikunjungi ribuan wisatawan mancanegara.
Nama Iseltwald mulai harum saat muncul dalam adegan ikonik drama Korea berjudul Crash Landing On You. Akibatnya, kampung ini dibanjiri wisatawan dari berbagai belahan dunia yang rela datang jauh-jauh hanya untuk duduk di dermaga kayu Iseltwald.
Dulunya, dermaga tersebut hanyalah titik lokal biasa yang digunakan para nelayan untuk menambatkan perahu mereka.
Air danau Brienz yang berwarna biru dan panorama gunung yang menjulang tinggi akan menjadi suguhan utama wisata kampung ini.
Namun, di balik suasana bak negeri dongeng itu, Iseltwald menghadapi dilema. Bagi penduduknya, pariwisata membawa pemasukan tapi juga mengancam ketenangan yang sudah mereka jaga bertahun-tahun.
Diujung barat Kepulauan Faroe, ada sebuah kampung yang seperti ditinggalkan oleh waktu. Mykines hanya terdiri dari segelintir rumah beratap rumput dengan dikelilingi tebing curam.
Dari kejauhan kampung ini tampak diselimuti kabut tebal dan seperti pulau fantasi yang sengaja dijauhkan dari manusia.
Mykines sendiri sudah dihuni sejak era Viking. Tapi lokasinya yang terisolasi membuatnya nyaris tak berubah selama ratusan tahun.
Hingga hari ini, akses ke kampung Mykines hanya bisa dilakukan dengan perahu atau helikopter dan itupun tergantung cuaca.
Jika angin terlalu kencang atau ombak membumbung tinggi, kapal akan dibatalkan, helikopter pun tak bisa terbang.
Keunikan Mykines ada pada ribuan burung pavin yang setiap musim panas datang untuk bersarang di tebing dan padang rumput kampung.
Anehnya tak ada satupun toko di sini, wisatawan yang ingin berkunjung diwajibkan untuk membawa bekal sendiri.
Saat kamu berjalan di jalanan setapak Mykines, angin laut yang dingin akan langsung menyambar wajah dan suara ombak yang menghantam tebing terdengar seperti orkestra alami.
Hamparan rumput hijau yang sangat luas diiringi kepakan ribuan sayap burung pavin menghadirkan suasana tenang dan nyaman.
Hal itulah yang membuat Mykines menjadi destinasi favorit wisatawan mancanegara yang ingin mendapatkan sensasi liburan berbeda.
Kendati begitu, dibalik keindahan itu, Mykines menyimpan kenyataan yang tak banyak orang sanggup hadapi. Cuaca ekstrem dan isolasi membuat hidup di sini keras. Tak heran jika penduduk utama Mykines tak sampai 20 orang.
Kampung Huacachina di Peru menjadi satu-satunya lokasi yang ditumbuhi tanaman hijau di tengah gurun pasir.
Menurut sejarah, Huacachina berdiri pada tahun 1940-an, dibangun di sebelah laguna alami.
Keunikan kampung ini terletak pada lokasinya yang ekstrem, Huacachina satu-satunya desa oase alami di seluruh benua Amerika.
Di sekitarnya, bukit-bukit pasir menjulang setinggi gedung bertingkat, ini jadi tempat favorit untuk sandboarding dan balapan bagi yang ingin memacu adrenalin.
Air lagunanya meski kecil tetap menjadi sumber kehidupan para penduduknya.
Namun ada hal aneh di balik semua ini, laguna yang dulu penuh air kini harus disuntik pasokan dari luar karena sumber mata airnya perlahan mengering akibat perubahan iklim dan penggunaan nair berlebihan.
Di tepi kaldera raksasa yang terbentuk ribuan tahun lalu dari letusan gunung berapi dahsyat, berdiri sebuah kampung putih yang bertumpuk-tumpuk di tebing curam menghadap laut biru.
Inilah kampung Oia Santorini, Yunani, dari kejauhan ratusan rumah terlihat seperti lautan salju yang tumpah di atas batu vulkanik hitam.
Oia sudah ada sejak abad 13, awalnya sebagai benteng laut untuk melindungi kapal dagang dari bajak laut.
Rumah-rumahnya dibangun menempel pada tebing sebagian setengah terkubur di batuan.
Seiring waktu arsitektur ini menjadi ciri khas Oia Santorini. Dinding puting setiap rumah memantulkan cahaya matahari, kubah-kubah biru cerah menjadi simbol desa.
Keunikan kampung ini tidak hanya terletak pada arsitekturnya, tapi juga pada ritual yang dilakukan para wisatawan setiap sore yang berburu keindahan matahari terbenam.
Diketahui, ratusan orang berbondong-bondong setiap sore mencari spot terbaik untuk mengabadikan sunset di laut Aegea, baik di balkon, atap rumah atau bahkan di atas benteng kuno.
Namun, di balik kemegahan dan romantisme, kampung Oia Santorini menghadapi tantangan kenaikan harga properti yang membuat banyak warga lokal terpaksa pindah digantikan hotel hotel mewah untuk turis.
Di puncak bukit batu tufa yang rapuh, berdiri sebuah desa kecil dengan gerbang batu kuno dan jalan setapak dari abad pertengahan.
Dari kejauhan Civita Di Bagnoregio terlihat seperti pulau di atas awan dihubungkan ke dunia luar hanya oleh satu jembatan sempit.
Civita Di Bagnoregio didirikan lebih dari 2.500 tahun lalu oleh bangsa Etruska. Letaknya yang strategis membuatnya makmur selama berabad-abad, tapi fondasi ini terancam erosi serius.
Batu tufa yang menjadi alas utama desa perlahan terkikis hujan dan gempa bumi. Sedikit demi sedikit tebing di sekelilingnya runtuh dan bangunan di tepi jurang ikut hilang.
Pada abad ke 20, kampung ini hampir sepenuhnya ditinggalkan oleh penduduknya karena dianggap terlalu bahaya untuk ditinggali.
Keunikan Civita terletak pada kontrasnya, jalan-jalannya penuh bunga dengan rumah batu yang dihiasi kayu klasik.
Untuk masuk ke desa ini, pengunjung harus berjalan kaki menyebrangi jembatan sepanjang 300 meter yang membentang di atas lembah.
Di tebing curam setinggi 800 meter Provinsi Sichuan, ada sebuah desa yang dulu dijuluki desa tebing langit namanya Atule’er, tempat di mana rumah-rumah berdiri di ketinggian ekstrem.
Desa ini hanya bisa dicapai dengan memanjat tangga bambu yang menempel di dinding batu. Tapi kamu mungkin bertanya-tanya bagaimana bisa satu desa hidup di lokasi yang begitu sulit dan kenapa mereka memilih tinggal di sana.
Atule’er dihuni oleh suku YI selama berabad-abad, jauh sebelum ada jalan raya atau infrastruktur modern. kehidupan di sini sepenuhnya bergantung pada petani di lahan sempit di lereng gunung dan berdagang hasil panen dengan desa di bawah.
Satu-satunya jalur menuju dunia luar adalah serangkaian tangga bambu tua yang menghubungkan desa dengan dasar lembah.
Untuk pergi ke sekolah anak-anak harus menuruni tebing selama 2 jam lalu memanjat kembali di sore hari dengan risiko jatuh yang mematikan.
Keunikan Atule’er pernah jadi sorotan dunia ketika foto-foto anak-anak desa ini viral dan tersebar di internet pada 2016. Tangga bambu yang mereka pakai bukan sekedar curam tapi juga rapuh, hanya bertumpu pada beberapa titik di batu karang.
Setelah mendapat perhatian internasional pemerintah membangun tangga baja permanen untuk menggantikan tangga bambu sebelumnya.
Namun itu pun tetap berarti 255 anak tangga vertikal yang harus dinaiki setiap hari dan pada tahun 2020 sebagian besar penduduk terutama keluarga dengan anak dipindahkan ke apartemen baru di dataran rendah sebagai bagian dari program pengentasan kemiskinan.
Meski begitu beberapa warga memilih tetap tinggal di atas menjaga lahan dan rumah leluhur mereka.
Bayangkan sebuah desa tanpa ada deru mesin mobil, tanpa klakson tanpa aspal. Di Giethoorn jalan raya digantikan oleh kanal-kanal yang tenang dengan kendaraan utama perahu kecil yang meluncur pelan di air.
Suara paling keras yang kamu dengar di Giethoorn hanyalah percikan dayung atau cicit burung di tepi sungai. Tapi kamu mungkin bertanya-tanya bagaimana sebuah desa bisa bertahan hidup tanpa jalan darat.
Giethoorn berdiri pada abad ke-13 dibangun oleh para petani dan penggali gambut. Saat mereka menggali tanah untuk mencari minyak bumi, lubang-lubang besar yang ditinggalkan dipenuhi air dan perlahan berubah menjadi danau.
Kanal-kanal hingga kini tercatat lebih dari 170 jembatan yang menghubungkan setiap sudut desa menjadikannya salah satu pemukiman air terindah di dunia.
Keunikan Giethoorn adalah keseharian warganya yang benar benar hidup di atas air. Anak-anak pergi ke sekolah dengan perahu, tukang pos mengantarkan surat dari rumah ke rumah lewat kanal, bahkan pesta pernikahan bisa berlangsung di atas perahu hias.
Di musim dingin air kanal membeku dan perahu pun digantikan sepatu es, seluruh desa berubah menjadi arena skating raksasa.