

inNalar.com – Masuknya pengaruh Belanda di Nusantara dimulai saat datangnya VOC. Disamping bergerak dalam bidang perdagangan, VOC juga mewakili Belanda dalam menggerakkan fungsi pemerintahan dan hukum di East Indies.
Ketika hukum ‘khas Belanda’ coba ditetapkan untuk masyarakat Hindia-Belanda, terdapat penolakan dan kesulitan karena beratnya hukuman yang dijatuhkan kepada pribumi.
Produk hukum ‘khas Belanda’ pertama yang berkaitan dengan hukum Islam dikeluarkan pada tahun 1642, disini pihak VOC ikut berkompromi. Hukum tahun 1642 itu menyatakan tentang kewarisan Islam diberlakukan kepada pemeluk agama Islam. Kemudian upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam diselesaikan pada tahun 1760.
Baca Juga: Harga Tak Masuk Akal, Polisi Ungkap Sanksi bagi Penimbun Minyak Goreng
Saat Hindia-Belanda berada dibawah kekuasaan VOC, mereka kurang menghiraukan agama dan kebudayaan yang ada di Nusantara.
Namun, sekitar abad-18 di saat kekuasaan kompeni diambil alih oleh kerajaan Belanda, mereka mulai memperhatikan budaya dan agama masyarakat.
Bahkan muncul kekhawatiran dan kecurigaan terhadap perkembangan Islam di Nusantara karena bersamaan dengan berkembangnya Pan – Islamisme di Turki.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda dibawah Deandels dan masa Inggris dibawah Raffles, hukum Islam merupakan hukum yang berlaku di masyarakat dan diaplikasikan pada penyelesaian masalah yang terjadi antar umat Islam sendiri.
Selain itu, pada masa ini disusun kitab undang – undang yang berasal dari kitab hukum Islam.
Baca Juga: Al Quran Surah Abasa Ayat 21 Sampai 30 Lengkap dengan Terjemahan Bahasa Indonesia
Berdasarkan teori seorang ahli hukum, Van Den Berg. Pada tahun 1882 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan peradilan agama yang diperuntukkan bagi masyarakat yang memeluk agama Islam.
Kemunculan teori Receptio In Complexu menjadikan hukum Islam diakui dan diberlakukan sebagai hukum positif, walaupun pada dasarnya telah diberlakukan dalam kehidupan masyarakat.
Namun teori tersebut ditentang oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje yang mengemukakan bahwa hukum Islam dapat diterima selama tidak bertolak belakang dengan hukum adat.
Teori ini muncul karena Snouck Hurgronje tidak ingin orang pribumi memegang kuat ajaran Islam.
Bentuk realisasi Belanda dalam menghambat pelaksanaan hukum Islam dengan cara :
1. Hudud dan qishash sama sekali tidak dimasukkan dalam hukum pidana
2. Hukum Islam yang menyinggung tentang tata negara dihapuskan dan kajian yang berhubungan dengan politik ketatanegaraan dilarang keras.
3. Berlakunya hukum muamalah dipersempit, terutama yang menyangkut perkawinan dan hukum kewarisan.
Dua syarat yang menjadikan hukum Islam dapat diberlakukan, yaitu :
1. Hukum Islam tersebut harus diterima lebih dahulu oleh hukum adat.
2. Jika sudah diterima oleh hukum adat, hukum tersebut juga tidak boleh bertentangan dengan Perundang – undangan Hindia Belanda.
Seperti yang disampaikan Mr. Scholten van Oud Haarlem, pemerintah Belanda memperbolehkan pribumi menggunakan undang – undang agama, lembaga, dan kebiasaannya selama tidak bertolak belakang dengan kepatutan dan keadialn umum.
Dapat disimpulkan dari pernyataan diatas bahwa penempatan hukum Islam berada dibawah hukum Belanda. Keadaan hukum Islam pada masa Pemerintahan Belanda hingga berakhirnya pada tahun 1942 memiliki kedudukan yang lemah.***