

inNalar.com – Cara untuk menyambut bulan suci Ramadhan sangatlah banyak, mulai dari membangunkan orang sahur, masak besar bersama, ngabuburit, membunyikan meriam atau bedug, dan sebagainya.
Bagimanakah euforia dan situasi Ramadhan yang dialami oleh masyarakat Indonesia era kolonial ? inNalar.com akan mengajak Anda untuk menjelajah ke belakang, ke era abad ke-20.
Setelah bubarnya VOC di penghujung tahun 1799, penguasa di Indonesia (saat itu konteks zamannya disebut Nusantara) adalah pemerintah kolonial Hindia-Belanda.
Baca Juga: Tidak Datang ke Bareskrim, Berikut Alasan Istri dan Manajer Doni Salmanan Tunda Pemeriksaan
Pada masa ini, kegiatan ke-Islaman termasuk didalamnya Ramadhan sudah mulai diatur.
Untuk menyemarakaan perayaan yang hanya datang satu tahun sekali tersebut, masyarakat menyambut bulan suci Ramadhan dengan membunyikan bedug masjid, membunyikan petasan hingga meriam.
Seperti yang tersurat dalam koran Berita Nahdhlatul Oelama (BNO) edisi 1 November 1937 yang memuat maklumat awal Ramadhan 1357 Hijriah.
Dalam tulisan tersebut ditulis mengenai bunyi-bunyian keras yang dinyalakan untuk menyambut 1 Ramadhan disamping pengumuman hasil rukyatul hilal dan hisab.
Baca Juga: Menerapkan Gaya Hidup Zero Waste, Sebuah Langkah Menjadi Pahlawan Bumi, Bagaimana Cara Memulainya?
“Jadi, dengan meriam, petasan, mercon, anak-anak (masa kolonial) bikin menggunakan pelepah pisang. Intinya yang menimbulkan bunyi-bunyian keras penanda Ramadhan”, ungkap sejarawan sekaligus dosen sejarah IAIN Surakarta, Martina Safitry.
Namun, tradisi membunyikan petasan ini tidak didukung oleh semua pihak. Perdebatan mengenai pelaksanaan tradisi ini terdapat dalam Berita Nahdlatul Oelama (BNO) tanggal 7 November 1940.
Berita hari itu menyatakan problem pertentangan pelaksanaan tradisi khas lebaran bukan hanya dari pihak penguasa, melainkan dari lapisan masyarakat juga.
Dari situ, pemerintah kolonial melakukan pembatasan dan pelarangan membunyikan petasan, meriam ataupun bunyi-bunyian lain di bulan Ramadhan.
Ternyata masyarakat bumiputera bersikukuh melakukan tradisi tersebut. Selain sebagai bentuk menyemarakaan Ramadhan, tradisi membunyikan petasan dinilai masyarakat sebagai salah satu syiar Islam.
Masyarakat melayangkan protes pada pihak pemerintah Hindia-Belanda. Selain dengan cara menyindir dengan tetap melakukan tradisi petasan, mereka juga melakukan serangkaian protes fisik agar umat Muslim diperbolehkan membunyikan petasan dan meriam.
Baca Juga: Bagaimana Cara Menolak Kantong Kresek saat Berbelanja? Jangan Sampai Berdebat dengan Penjual
Pemerintah kolonial akhirnya memberikan izin terhadap umat Muslim untuk melakukan tradisi ini.
Namun mereka menerapkan rambu-rambu dengan mengeluarkan besluit atau peraturan tersendiri tentang tata cara membunyikan meriam dan petasan.***