Mengenal Rangkayo Rahmah El-Yunusiyah, Sosok Kartini Perguruan Islam dari Sumatera Barat

inNalar.com – Sebelum abad ke-20 kesadaran akan pentingnya pendidikan sebagai sarana meningkatkan derajat kehidupan dalam bermasyarakat ternyata tidak menyentuh kaum wanita.

Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa tugas seorang wanita hanyalah mengatur urusan domestik seputar rumah tangga, melayani suami, dan mengurus anak, sehingga tidak memerlukan adanya pendidikan tinggi layaknya kaum pria.

Adat seperti inlah yang menyebabkan kehidupan wanita sangat dibatasi dan menjadikan wanita menjadi kaum yang terbelakang.

Baca Juga: Daftar Tarif Jalan Tol Trans Sumatera atau JTSS, Catat Nominalnya untuk Persiapan Mudik Lebaran 2022

Nama R. A Kartini tidak bisa dilepaskan dari usaha ini, ia sangat getol sekali mengumandangkan sebuah gerakan emansipasi, yang ia tuangkan lewat tulisan-tulisannya, khususnya dalam korespondesinya dengan sahabat karibnya Nyonya Abendanon. Kemudian kumpulan surat-surat itu diterbitkan dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang (1911).

Hal yang serupa juga dilakukan oleh sosok Dewi Sartika yang memiliki kemiripan tujuan yang sama dari Kartini, dengan mendirikan sekolah Kautaman Istri di beberapa daerah di Priangan.

Kedua tokoh itu memang cukup terkenal di kemudian hari, bahkan sosok Kartini pun diperingati setiap tahun sekali.

Akan tetapi, dibalik sosok kebesaran nama Kartini dan Dewi Sartika tersimpan beberapa tokoh perempuan lainnya yang juga memiliki tujuan yang sama dengan Kartini maupun Dewi Sartika. Sebut saja tokoh Rangkayo Rahmah El-Yunusiyah.

Baca Juga: 25 Ucapan Selamat Idul Fitri 2022 dengan Bahasa Sunda yang Menyentuh Hati

Ia adalah tokoh yang mengangkat harkat martabat perempuan.  Rahmah El-Yunusiyah merupakan adik kandung dari Zainudin Labai El-Yunusy (1890-1924) yang merupakan pendiri dari Diniyah School di Padang Panjang.

Meskipun mendapat kesempatan dalam menuntut ilmu, Rahmah El-Yunusiyah melihat terdapat sebuah ketidakberesan terhadap kalangan perempuan ketika belajar.

Kalangan perempuan cenderung tertutup dan malu untuk bertanya sesuatu apabila mendapati sebuah persoalan.

Persoalan tersebut kemudian ditanggapi secara serius oleh Rahmah El-Yunusiyah, jika budaya tersebut terus-terusan dipelihara oleh kalangan perempuan, justru hanya membuat kalangan perempuan hanya bergerak ditempat, bersekolah hanya sebagai bentuk formalitas belaka.

Baca Juga: 20 Link Twibbon Idul Fitri 2022, Siap Menyambut Lebaran dengan Hati yang Suci

Maka kemudian, atas beberapa perkara yang ia yakini bahwa peran pendidikan sebagai salah satu jalan yang tepat untuk mengangkat derajat kaum perempuan.

Dengan berbekal petunjuk dari sang kakak Zainudin Labai El-Yunusy. Maka pada tanggal 1 November 1923 berdirilah sebuah sekolah agama puteri yang pertama di bumi Hindia-Belanda yang berlokasi di Padang Panjang. 

Sekolah itu kemudian diberi nama Madrastut Diniyah lil Banat,  sekolah ini kemudian terkenal dengan nama Diniyah School Puteri.

Dana yang digunakan dalam membangun sekolah tersebut berasal dari bantuan Persatuan Murid-murid Diniyah School yang didirikan atas anjuran Zainudin Labai El-Yunusy.

Deliar Noer sempat mewancarai Rahmah El-Junusiyah di Padang Panjang tahun 1957 yang ia tulis di bukunya Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, bahwa Persatuan Murid-Murid Diniyah School (PMDS) adalah usaha untuk melatih murid-muridnya dalam berorganisasi.

Baca Juga: 25 Ucapan Selamat Idul Fitri 2022 dalam Bahasa Jawa, Sugeng Dinten Riyaya dan Masih Banyak Ucapan Lainnya

Di samping itu mereka memperoleh kesempatan juga untuk menyalurkan kegiatan ekstra kurikulernya (musik, pekerjaan tangan).

Selain dari dana tersebut, pembiayaan sekolah dan dana yang diperlukan untuk kelancaran sekolah ini mula-mula diambil dari harta kekayaanya, karena uang sekolah murid-murid saja tidak cukup buat menutupi biaya yang diperlukan.

Keteguhan hati Rahmah El-Yunusiah dalam membangun sekolah sempat mendapat iming-iming dari pemerintahan kolonial Belanda untuk menerima subsidi pemerintah.

Rayuan dari pemerintahan kolonial Belanda tidak menggiurkan Rahmah El-Yunusiyah, ia justru berkeyakinan bahwa dengan usahanya sendiri, sekolah akan mampu untuk berdiri sendiri.

Berdirinya sekolah ini  awalnya memang tidak sepenuhnya mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Keadaan tersebut tidak menyurutkan langkah Rahmah El-Yunusiyah untuk melakukan perubahan terhadap masyarakat.

Sindiran keras terhadap Sekolah Diniyah Puteri, tidak hanya berhenti untuk menguji kesabaran Rahmah El-Yunusiyah.

Meninggalnya Zainudin Labai El-Yunusy tahun 1924 dan gempa bumi Padangpanjang tahun 1926, tidak membuat langkah Rahmah El-Yunusiyah mundur dalam melakukan perubahan.

Baca Juga: 25 Caption dan Ucapan Selamat Hari Paskah 2022 dalam Bahasa Inggris, Kirimkan pada Relasi dan Sanak Famili

Berbekal dukungan dari beberapa murid dan galangan dana berkat kunjungan di berbagai daerah. Membuat Sekolah Diniyah Puteri secara perlahan-lahan bangkit, dan berhasil mendirikan sebuah cabang di Jakarta.

Keadaan juga kembali memihak kembali kepadanya, dengan ia dianugerahi gelar Syaikah atau sejenis gelar Honoris Causa oleh Universitas Al-Azhar.

Tawaran beasiswa dari Universitas Al-Azhar terhadap lulusan Sekolah Diniyah Puteri tidak disia-siakan begitu saja oleh Rahmah El-Yunusiyah, dengan mengirimkan beberapa lulusan terbaiknya, untuk melanjutkan pendidikan di negeri firaun tersebut.

Raihan manis tersebut, tidaklah berlangsung lama karena Rahmah El-Yunusiyah pada tahun 1969 harus dipanggilkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Meninggalkan bangunan Sekolah Diniyah Puteri, dan juga mewariskan semangat perubahan dan emansipasi terhadap perempuan.***

Rekomendasi