Desa Wisata Sekaligus Desa Adat Terbersih di Dunia ada di Indonesia! Hanya Berjarak 50 Km dari Pantai Terpopuler di Pulau Bali

InNalar.com – Bali menjadi salah satu pulau wisata idaman masyarakat Indonesia. Salah satu lokasi yang wajib dikunjungi saat berwisata ke Bali adalah Desa Adat Penglipuran.

Bali bukan hanya menyuguhkan pantai yang indah dan pura-pura yang megah. Tapi ada juga satu desa adat yaitu Desa Penglipuran yang wajib masuk daftar list wisata.

Desa ini terletak di Kelurahan Kubu Kecamatan, Bangli Kabupaten Bangli, Bali. Salah satu hal yang menjadi daya tarik wisatawan berkunjung ke desa ini adalah karena kebersihannya.

Baca Juga: Cantik Eksotis! Standar Kecantikan Wanita di Desa Mentawai, Sumatera Barat Ini Sungguh Tak Biasa

Tak tanggung-tanggung, UNESCO menetapkan Desa Penglipuran sebagai desa adat terbersih nomor 3 di dunia.

Salah satu wujud kebersihan desa ini adalah tersedianya parit saluran air di kanan kiri selebar 50 cm dengan sanitasi yang baik di sepanjang jalan.

Tak hanya penghargaan dari UNESCO, menurut situs UKMIndonesia.com, Desa Penglipuran juga mendapat penghargaan Kalpataru, Indonesia Sustainable Tourism Award, dan Top 100 Sustainable Destination.

Baca Juga: Transaksi Nasabah BRI Makin Aman dan Nyaman Berkat Fitur Unggulan BRImo QRIS Transfer

Desa Penglipuran berada tepat di kaki Gunung Batur dengan ketinggian kurang lebih 700 meter di atas permukaan laut.

Desa ini terletak di jalur wisata Kintamani, atau kurang lebih 45 Km dari pusat kota Denpasar.

Keunikan lain yang dimiliki Desa Penglipuran adalah desa yang memiliki tata ruang yang disebut “Tri Mandala”. Mengapa Tri Mandala?

Baca Juga: Bukan Cuma Pengaruh Fisik! Suhu Udara Ternyata Bisa Menjelaskan Kepribadian Seseorang

Desa Penglipuran ini dibagi menjadi tiga wilayah yaitu Nista Mandala, Madya Mandala, dan juga Utama Mandala.

Dilansir dari detik.com. Arti Utama Mandala adalah sebagai wilayah suci untuk para dewa dan peribadatan.

Kemudian Madya Mandala adalah tempat yang berada di tengah antara Nista Mandala dan sebelum Utama Mandala. Dimana setiap rumah juga memiliki tata ruang yang telah diatur secara adat.

Bagian timur sebagai tempat pembuangan atau MCK, lalu di bagian utara rumah sebagai tempat tidur, kemudian yang bagian tengah sebagai tempat keluarga.

Yang terakhir yaitu Nista Mandala yang menjadi area khusus pemakaman penduduk.

Tak hanya tata ruang, sistem adat di Desa Penglipuran juga menjadi daya tarik tersendiri.

Aturan sistem adat di Desa Penglipuran ini dikenal dengan sebutan “awig-awig”

Sebutan ini juga merupakan implementasi dari filosofi hidup “Tri Hita Karana”. Tri Hita Karana sendiri berkaitan dengan tiga hal, yakni Parahyangan, Pawongan, serta hubungan manusia dan lingkungan.

Parahyangan artinya hubungan antara manusia dan tuhan. Termasuk di dalamnya, bagaimana masyarakat menentukan hari suci, tempat suci dan sebagainya.

Kedua, Pawongan, yang merupakan hubungan antara manusia dan manusia. Pawongan ini dapat menyangkut perihal sistem perkawinan, pewarisan, organisasi, dan sebagainya.

Terakhir, hubungan manusia dan lingkungan. Yang memiliki makna, seluruh masyarakat Desa berkomitmen untuk menjaga, mencintai, serta bisa merawat alam dan lingkungan sekitarnya.

Selain sebagai desa adat yang kental dengan aturan, Desa Penglipuran juga menjadi desa wisata. Penglipuran hingga saat ini masih kental dengan keseniannya.

Sejumlah seni sakral yang masih terus dilestarikan adalah Tari Baris Bedil, Tari Baris Jojor, Tari Baris Presi, Joged Bumbung, Drama Gong, dan Tari Seni Arja.

Ada pula karya topeng yang mereka buat untuk dinikmati masyarakat. Beberapa bentuk topeng di antaranya adalah Topeng Barong Macan, Topeng Barong Ket, Topeng Sidakarya, dan Topeng Serengeti.

Potensi desa adat dan desa wisata yang begitu kaya, tidak dibiarkan begitu saja.

Sebagai salah satu objek wisata yang favorit di Pulau Bali, pemerintah desa pun menginisiasi pengelolaan desa melalui konsep Community Based.

Warga desa berkolaborasi untuk berperan aktif dalam pengelolaan desa. Bersama pemerintah, mereka membentuk tim khusus yang terdiri dari 30 orang untuk mengelola kegiatan pariwisata sehari-hari.

Model pengelolaan desa wisata yang terorganisir ini dapat menjadi teladan bagi desa wisata lainnya.

Pengelolaan yang efektif dan terencana akan menciptakan peluang kerja bagi penduduk desa.*** (Aliya Farras Prastina)

Rekomendasi