

inNalar.com – Siapa yang menyangka, kondisi tanah yang subur dan panorama yang indah, kawah gunung di Dieng ini ternyata pernah memakan ratusan korban jiwa dengan tragedi mengerikan.
Dibalik pemandangannya yang sangat indah, dataran tinggi Dieng menyimpan berbagai potensi bencana alam yang harus diwaspadai termasuk kawah sekelilingnya.
Salah satunya adalah ancaman gas beracun karbondioksida (CO2) dari Kawah Timbang yang pada 20 Februari 1979 lalu pernah menelan korban jiwa hingga 149 orang.
Kisah pilu ini dikenal dengan tragedi Sinila. Sinila merupakan nama dari salah satu kawah yang tidak jauh dari Kawah Timbang yang ada di Dataran Tinggi Dieng.
Berdasarkan catatan BPBD Jawa Tengah, 149 orang dinyatakan meninggal dunia dan 15.000 warga dari enam desa yang terdampak terpaksa mengungsi sebagai bentuk pengamanan diri.
Usai tragedi Sinila sebagian warganya pindah ke Baturaja, Sumatera Selatan. Sedangkan warga lainnya pindah ke desa tetangga di sekitarnya seperti Desa Pekasiran dan Desa Sumberejo yang juga berlokasi di Kecamatan Batur, Banjarnegara.
Baca Juga: Desa Labang di Perbatasan Indonesia-Malaysia Terisolasi dari Dunia Luar
Tragedi Sinila ini terjadi karena gas beracun yang meracuni ratusan orang yang berada di sekitar kawah.
Kandungan karbondioksida di Kawah Sinila saat kejadian itu hingga mencapai angka 200.000 ppm.
Di saat bersamaan pula, kandungan karbondioksida di Kawah Timbang mencapai 10.000 ppm, sedangkan Sumur Jalatunda kandung CO2 nya juga mencapai 520.000 ppm.
Baca Juga: Danau Kelimutu, Telaga Tiga Warna di Nusa Tenggara Timur yang Indah Tapi Penuh Misteri
Padahal, konsentrasi maksimum dari karbondioksida (CO2) yang tidak membahayakan adalah sebesar 5.000 ppm.
Pada saat itu, pemerintah daerah tingkat I di Semarang mencatat, gempa sudah mulai terjadi pada pukul 01.55 WIB. Gempa ini membuat seluruh warga berhamburan keluar rumah.
Gempa tersebut diikuti dengan udara dini hari yang saat itu terasa sangat panas dan bau belerang yang tercium kuat. Bau belerang semakin menyulitkan warga untuk bernapas.
Tiba-tiba di kegelapan malam, terdengar dentuman keras disertai kobaran api dari sebuah bukit yang sudah terlalap api.
Tak sampai di situ, peristiwa setelah dentuman ini diikuti hujan abu, sehingga warga mulai menyadari telah terjadi sebuah letusan gunung berapi.
Tak lekas pulih, gas beracun akibat letusan di Kawah Sinila ini pun diketahui masih terdeteksi hingga tiga puluh hari setelah tragedi pilu ini.
Desa Kepucukan yang menjadi salah satu wilayah dimana posisinya paling dekat dengan kawah tersebut, saat ini sudah tak berpenghuni bahkan dapat dikatakan hilang.
Jika dilihat dalam peta administratif Kecamatan Batur, Desa Kepucukan sudah tidak dapat lagi kita temukan.
Desa ini dihapus karena sudah tidak layak huni. Warga desanya juga banyak yang direlokasi, baik di sekitar Kecamatan Batur maupun diikutkan dalam transmigrasi oleh pemerintah.
Nama dan lokasi Desa Kepucukan hingga kini hanya dapat diingat oleh para korban selamat, warga setempat dari desa lain, dan saksi mata yang melihat atau mendengar tragedi Kawah Sinila Dieng 1979.*** (Aliya Farras Prastina)