

inNalar.com – Suku Dayak di Kalimantan memiliki tradisi yang unik. Mereka meyakini bahwa kecantikan seorang wanita tidak dinilai dari wajah, tetapi dari telinga mereka.
Telingaan aruu adalah nama tradisi ini. Telingaan aruu atau telinga panjang merupakan tradisi dimana daun telinga wanita suku Dayak sengaja dibuat menjuntai dengan anting pemberat hingga panjang.
Dilansir dari laman indonesia.go.id, tidak semua suku Dayak melakukan tradisi telingaan aruu ini.
Baca Juga: Pemukiman Terkumuh dan Terpadat di Asia Tenggara Bukan di Indonesia Tapi di Negara Ini
Tradisi ini hanya dikenal oleh beberapa sub suku Dayak dimana sub suku ini tinggal di pedalaman Kalimantan
Contohnya, suku Dayak Kenyah, Dayak Penan, Dayak Kelabit, Dayak Sa’ban, Dayak Bahau, Dayak Kayan, Dayak Punan dan Dayak Taman.
Dari segi fisiknya, mereka menganggap panjang daun telinga dan belaong yang dikenakan akan menambah kecantikan dan daya tarik tersendiri.
Tetapi bukan hanya sebagai simbol kecantikan fisik, semakin panjang daun telinga maka ia akan dipandang memiliki kecantikan dari segi sikap.
Dari segi sikap, telingaan aruu menjadi bukti akan kepatuhan dan kesabaran seseorang dalam mengikuti tradisi nenek moyang mereka.
Selain itu, juga menjadi bukti kesanggupan seseorang dalam menahan derita dimana penderitaan itulah yang membuatnya semakin kuat.
Baca Juga: Warisan Tradisi Ekstrem Desa di Pelosok Maluku: Saling Pukul dengan Sapu hingga Berdarah
Tradisi telinga panjang ini sudah dilakukan sejak bayi lahir, bayi akan ditindik dengan ritual mucuk penik.
Ritual mucuk penik dilakukan dengan penindikan daun telinga.
Sebagai pengganti anting-anting, telinga bayi akan dipasangi benang.
Baca Juga: Pulau Terpencil di Dunia, Daratan 121 KM Persegi yang Penghuninya Hidup dari Kasih Sayang Inggris
Setelah luka tindik mengering, maka benang tadi akan diganti dengan pintalan kayu gabus.
Pintalan kayu gabus ini akan diperbarui dengan yang ukuran yang lebih besar setiap seminggu sekali.
Bukan tanpa alasan, pintalan kayu gabus dipilih karena sifatnya yang akan mengembang saat terkena air, sehingga pintalan ini dapat membuat lubang daun telinga juga semakin lebar.
Baca Juga: Pesona Surga Indonesia Timur, Wisata Bahari Maluku Ini Pernah Menjadi Tempat Pengasingan Bung Hatta
Setelah lubang cukup besar maka seorang gadis akan dipakaikan belaong. Belaong adalah anting-anting tradisional yang terbuat dari bahan tembaga.
Jumlah belaong akan ditambahkan satu persatu secara bertahap. Belaong inilah yang membuat lubang pada daun telinga semakin lama akan semakin besar dan panjang.
Penambahan belaong ini harus sesuai dengan aturan yaitu dengan memperhatikan usia dan status sosial pemakainya.
Setiap melakukan aktivitas, bahkan tidur sekalipun, belaong ini tidak pernah dilepas.
Daun telinga yang memanjang ini dapat kembali seperti semula apabila tidak lagi mengenakan anting pemberat hingga belasan atau puluhan tahun.
Seiring dengan berkembangnya zaman, tradisi teliga panjang perlahan juga ditinggalkan.
Dilansir dari rri.co.id, Payaq nenek yang berasal dari suku Dayak Bahau Busang Asal Kecamatan Long Pahangai mengatakan generasi Kuping Panjang di Desa Long Pahangai kini sekitar 6 orang saja, itu pun tidak lengkap seperti dirinya yang memiliki kuping Panjang disertai rajah (tatto) di kaki dan tangan.
Generasi muda suku Dayak yang lahir pada era 1960-an mulai enggan memanjangkan daun telinga. Wanita Dayak yang melakukan telingaan aruu mayorita kini sudah berusia lanjut.
Bahkan kini beberapa wanita Dayak yang telah memanjangkan telinganya, ada yang sengaja memotong bagian bawah daun telinga untuk menghilangkan atribut tradisi yang sudah turun temurun ini.
Salah satu hal yang masih belum banyak diketahui adalah tradisi ini tidak hanya berlaku untuk wanita tetapi juga laki-laki.
Namun terdapat batasan ukuran panjang telinga antara laki-laki dan perempuan. Batasan dari ukuran panjang daun telinga sebatas dada untuk wanita.
Sementara untuk para laki-laki hanya boleh memanjangkan telinga hingga sebatas bahu.
Bagi laki-laki, melakukan tradisi ini adalah sebagai identitas kebangsawanan. Sedangkan bagi wanita mengikuti tradisi telingaan aruu ini adalah simbol kebangsawanan dan kecantikan. *** (Aliya Farras Prastina)