

inNalar.com– Tahun 2025 nanti, Pemerintah Indonesia berencana untuk meningkatkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Tarif tersebut merupakan yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
Kebijakan ini telah diterapkan sebagai bagian dari upaya reformasi perpajakan untuk meningkatkan penerimaan negara serta mengurangi ketergantungan pada sektor komoditas.
Jika tarif PPN Indonesia meningkat menjadi 12%, hal tersebut akan melebihi tarif PPN beberapa negara Asean. Contohnya, PPN di Malaysia adalah 6%, sementara Thailand menetapkan PPN sebesar 7%.
Baca Juga: Inilah Ciri-Ciri Honorer yang Dipastikan Lulus Seleksi PPPK 2024
Tarif PPN di Vietnam dan Filipina adalah 10% dan 12%. tarif PPN di Indonesia akan menjadi yang tertinggi di kawasan bersama dengan Filipina.
Ketika tarif PPN naik, harga barang dan jasa akan langsung terkena dampaknya, sehingga konsumen akan merasakan beban yang lebih besar.
Diperkirakan kenaikan tarif PPN menjadi 12% bakal memicu kenaikan harga barang dan jasa, terutama dirasakan di sektor-sektor yang bergantung pada konsumsi domestik, seperi ritel, makanan, dan transportasi.
Baca Juga: Nasib Tenaga Honorer yang TMS Masih Diberi Kesempatan Ini oleh Menpan RB, Buruan Cek!
Barang-barang kebutuhan harian seperti makanan, dan transportasi umum akan mengalami kenaikan harga, sehingga daya beli orang jadi berkurang, terutama golongan menengah dan bawah.
Hal ini berpotensi semakin memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi, karena konsumen akan lebih mempertimbangkan dalam pengeluaran uang untuk membeli barang-barang tersebut.
Kenaikan PPN menjadi 12% dapat menantang bagi pelaku usaha, terutama UKM, yang sering memiliki margin keuntungan tipis dibanding perusahaan besar.
Baca Juga: Bakal Diresmikan Prabowo, Wakil Presiden Gibran Cek Proyek CYESC di Jakarta Timur
Demi mengatasi dampak kenaikan pajak yang terjadi, UKM kemungkinan harus mempertimbangkan untuk menaikkan harga produk yang mereka jual, namun perlu diingat bahwa tindakan ini dapat berpotensi menurunkan daya beli konsumen.
Sebagai opsi lain, mereka sebaiknya memusatkan perhatian pada meningkatkan efisiensi operasional, termasuk mengurangi biaya produksi dan distribusi, serta berinovasi dalam produk dan layanan guna tetap bersaing di pasar yang semakin peka terhadap harga.
Sektor-sektor yang sangat bergantung pada konsumsi domestik, seperti sektor makanan dan ritel, juga diyakini akan terkena dampak.
Meskipun demikian, pemerintah berusaha mengurangi dampak buruk ini dengan kebijakan pengecualian PPN untuk barang-pada barang pokok tertentu dan layanan pendidikan maupun kesehatan.
Hal ini dapat membuat penjualan dan margin keuntungan menurun. UKM, yang seringkali memiliki margin yang lebih kecil dibandingkan bisnis besar, perlu beradaptasi melalui strategi seperti efisiensi operasional, diversifikasi produk, atau inovasi pemasaran untuk mempertahankan daya saing di pasar. (Putri Fitratunnisah)