

inNalar.com – Kebijakan mengenai kenaikan PPN menjadi 12 Persen yang akan berlaku pada Januari tahun 2025 mendatang tengah menjadi topik hangat.
Ditambah dengan klaim pemerintah bahwa hasil dari kenaikan PPN ini akan dikembalikan kepada rakyat, memunculkan reaksi publik yang sangat beragam.
Tidak sedikit pihak mempertanyakan keabsahan klaim tersebut dan dampak yang mungkin ditimbulkan bagi masyarakat.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah kebijakan yang dikenakan pada setiap tahap produksi dan distribusi barang dan jasa.
Hal ini memiliki fungsi sebagai salah satu sumber pendapatan negara yang penting.
Di mana nantinya akan dipakai untuk membiayai berbagai program pembangunan dan pelayanan publik.
Baca Juga: Guru Penggerak Tidak Layak Jadi Kepala Sekolah Atau Pengawas Karena Hal Ini, Benarkah?
Maka dari itu dengan kenaikan tarif PPN, pemerintah berharap dapat meningkatkan penerimaan negara untuk mendukung pembangunan infrastruktur dan program sosial.
Alasan tersebutlah yang menjadi klaim pemerintah bahwa nantinya hasil dari kenaikan PPN 12 persen akan di kembalikan ke rakyat.
Namun, tantangan dalam implementasi klaim ini tidak bisa diabaikan. Bahkan banyak ahli ekonomi menekankan pentingnya transparansi dalam pengelolaan dana.
Sperti Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) yang menekankan bahwa agar manfaat dari kebijakan ini dirasakan oleh rakyat, pemerintah harus memastikan bahwa pengembalian lebih besar daripada pajak yang dibayarkan.
Para pengamat ekonom memperkirakan bahwa konsumen akan merasakan dampak ini secara signifikan, terutama kelompok masyarakat berpendapatan rendah dan menengah.
Dengan kontribusi konsumsi rumah tangga sekitar 55 persen hingga 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Baca Juga: Benarkah Gaji Guru Naik 2 Juta Per Bulan? Ini Penjelasan Mendikdasmen Abdul Mu’ti
Kenaikan harga dapat mengurangi daya beli masyarakat, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pola konsumsi.
Lebih lanjut, penurunan daya beli ini berpotensi menyebabkan kontraksi dalam pertumbuhan ekonomi.
Dimana pada sebuah studi yang memproyeksikan bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dapat tertekan hingga -0,11 persen akibat kebijakan ini.
Baca Juga: Tantangan Proyek Jalan Tol Terpanjang di Indonesia, Target di Tahun 2024 Terpenuhi?
Penurunan aktivitas ekonomi ini dapat mengakibatkan pengurangan investasi dan mempengaruhi stabilitas pasar tenaga kerja.
Hal tersebut memicu banyak ketidakpuasan dan protes dari publik, mengingat dampaknya terhadap daya beli mereka yang sudah tertekan akibat inflasi.
Hingga Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun juga mengungkapkan kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat memperburuk kondisi ekonomi masyarakat, terutama di tengah ketidakpastian global.
Tidak berhenti di situ Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) juga menyatakan bahwa daya beli masyarakat sudah menunjukkan pelemahan sejak awal tahun 2024.
Sehingga penurunan daya beli ini malah akan berpotensi menghambat target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen.***