Nunggak Pajak Rp 2,1 T, Perusahaan Tambang Batu Bara di Kalimantan Timur ini Turut Diwarnai Skandal Mega Korupsi


inNalar.com – Di balik keberhasilan tambang batu bara terbesar di Kalimantan Timur, terselip kisah kelam yang mencoreng reputasi industri ini.

Salah satu kasus yang paling menyita perhatian adalah skandal mega korupsi yang melibatkan PT Kaltim Prima Coal (KPC).

Dengan konsesi tambang seluas 90.938 hektare, KPC beroperasi di tiga kecamatan di Kabupaten Kutai Timur: Bengalon, Rantau Pulung, dan Sangatta Utara.

Baca Juga: Kenaikan Gaji Pensiunan PNS 2024: Rincian dan Komitmen Pemerintah untuk Kesejahteraan

Sebagai anak usaha PT Bumi Resources Tbk, perusahaan ini telah menjadi pemain utama sejak 1990, menjadikan tambang batu bara sebagai salah satu sumber pendapatan daerah utama.

Awalnya, produksi KPC hanya mencapai 16,7 juta ton pada 2003. Namun, dalam 15 tahun, jumlah ini meroket hingga 56,97 juta ton.

Kinerja ini menjadikan KPC kontributor utama produksi batu bara nasional, menyumbang 37,7 juta ton sepanjang 2024, melampaui PT Adaro Energy Tbk dan PT Golden Energy Mines Tbk.

Baca Juga: BRI Mantapkan Transformasi Digital dengan AI, Tanpa Gantikan Peran Manusia

Namun, di balik catatan prestasi ini, berbagai kontroversi terus membayangi perjalanan KPC.

Pada 1996, KPC terseret dalam keruwetan hukum terkait kewajiban divestasi saham yang diatur dalam Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Berdasarkan kontrak tersebut, perusahaan wajib mendivestasikan sahamnya setelah lima tahun beroperasi. Sayangnya, kewajiban ini belum dipenuhi oleh pemegang saham utama saat itu, Rio Tinto dan British Petroleum.

Baca Juga: Dulu Terlilit Utang USD 443,8 Juta, Kini Jadi Raja Tambang Batu Bara di Kaltim dan Kalsel Usai Kuasai Ribuan Hektare Lahan

Ketika PT Bumi Resources Tbk membeli saham KPC senilai USD 500 juta, Pemerintah Daerah (Pemda) Kalimantan Timur melayangkan gugatan karena penawaran mereka yang lebih tinggi ditolak.

Gugatan ini sempat diajukan ke International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Singapura, namun akhirnya dicabut.

Keputusan mencabut gugatan ini menjadi kontroversi besar. Beberapa pejabat, termasuk Gubernur Suwarna dan penerusnya Yurnalis Ngayoh, terjerat skandal korupsi yang berhubungan dengan kasus ini.

Skandal pajak juga mencoreng nama KPC. Pada 2010, perusahaan ini bersama PT Arutmin menghadapi tuntutan tunggakan pajak senilai Rp2,1 triliun.

Kasus ini menyeret nama Gayus Tambunan, seorang mantan pegawai pajak yang mengaku menerima USD 500.000 dari KPC untuk mempercepat penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP).

Meski terus mencatatkan produksi tinggi, KPC harus menghadapi sorotan terkait praktik bisnisnya.

Kasus korupsi dan tunggakan pajak menimbulkan pertanyaan besar mengenai tata kelola perusahaan ini.

.***

 

 

Rekomendasi