

inNalar.com – Kisah azab tentang kaum Sodom rupanya tidak hanya terjadi dalam peninggalan kisah Nabi Luth di Timur Tengah saja.
Sebuah kampung di Banjarnegara ini pun menjadi contoh nyata kedahsyatan azab Tuhan bagi mereka yang gemar bermaksiat.
Secara ilmiah, kejadian nahas di pelosok lereng gunung raksasa Jawa Tengah (Jateng) ini dapat dikatakan menjadi bagian dari fenomena alam.
Namun tidak jarang masyarakat luas memandang peristiwa mengerikan ini sebagai bagian dari hukuman Tuhan.
Kisah mengenai desa yang hilang dalam semalam ini cukup melegenda hingga sekarang meski peristiwanya sudah terjadi sejak 69 tahun silam.
Namun kisahnya masih menarik perhatian masyarakat sebab karakteristik ceritanya sangat mirip dengan Kaum Sodom.
Inilah Dusun Legetang, kampung di pelosok Jawa Tengah yang kini hanya tersisa namanya lantaran hilang dari bumi Banjarnegara hanya dalam waktu semalam, tepatnya pada 16 April 1955.
Lantas, sebenarnya apa yang terjadi dan mengapa desa ini disebut mirip dengan Kaum Sodom sebagaimana banyak dikisahkan dalam kitab agama?
Petaka dari Kemakmuran ‘Kampung Sodom’
Sebelum mengulik lebih dalam mengenai apa penyebab hilang atau lenyapnya Kampung ini dalam sekejap, penting bagi kita memahami lokasi dusun di pelosok Banjarnegara ini.
Dusun Legetang dahulu diramaikan oleh 332 penghuni. Lokasinya strategis karena berada hanya 2 kilometer dari kawasan wisata Dieng.
Sebagai gambaran, kampung ini berada di wilayah pedesaan Pekasiran, masuk daerah administratif Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
Sebagian juga menyebut desa ini terletak di daerah Dieng Jawa Tengah, saking dekatnya dengan kawasan wisata tersebut.
Letaknya yang berada di lereng Gunung Pengamun Amun inilah awal mula kejadian nahas terjadi.
Lokasinya yang berada di lereng gunung berapi Banjarnegara ini membawa berkah kesuburan bagi warga desa ini.
Itulah mengapa hampir semua warganya bekerja sebagai petani. Kesuburan tanah kampungnya membuat mereka dianugerahi limpahan panen sayur-mayur berkualitas tinggi.
Jika kita bertandang ke sekitaran Dieng pun tentunya hingga kini akan terkejut dengan ukuran jumbo sayur mayur hasil panen petani, bukan?
Penghuni kampung semakin dekat dengan alam. Sebuah tarian khas daerahnya pun diciptakan, namanya adalah Tari Lengger.
Sebagai rasa syukur atas keberlimpahan alam yang membuat mereka semakin kaya, Tari Lengger ini menjadi pertunjukan sakral desanya.
Alih-alih menjadi tarian khas penuh nilai budaya, seiring waktu tarian ini justru semakin bergeser citranya.
Lenggokan dansa sang penari justru semakin dianggap para lelaki kampung setempat sebagai tarian erotis.
Kemakmuran desa membawa para penghuninya semakin tenggelam dalam kebiasaan maksiat seperti perjudian dan perzinahan.
“Tiap malam mereka mengadakan pentas Lengger, sebuah kesenian tradisional yang dibawakan oleh para penari perempuan, yang sering berujung kepada perzinaan,” dikutip dari salah satu laman resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul pada Jumat, 6 Desember 2024.
351 Orang Meregang Nyawa
Hingga pada suatu malam, hujan lebat membasahi seluruh area perkampungan Legetang. Namun, para warganya hanya menganggap hari itu sebagai siklus alam biasa.
Kebiasaan maksiat mereka tidak ada yang berubah sampai suatu malam 17 April 1955 ada dentuman keras yang sumber suaranya tidak dapat mereka ketahui asalnya memekakkan telinga usai hujan berhenti.
Siapa yang menyangka, segunungan tanah dari puncak Gunung Pengamun Amun seolah terbang dan menimpa Kampung Legetang dalam sekejap.
Tidak ada waktu bagi mereka untuk melarikan diri karena begitu cepatnya gundukan tanah mengubur mereka.
Sebanyak 351 jiwa meregang nyawa. 19 orang di antaranya adalah warga desa sebelah yang saat itu tengah berkunjung ke Desa Legetang.
Usai kejadian tersebut, puncak gunung raksasa Banjarnegara itu seolah menjadi bukit lantaran ujungnya terpangkas dan melongsor ke Kampung Sodom ini.
Kejanggalan Peristiwa Dahsyat 1955
Sampai sekarang, fenomena alam ini sungguh meninggalkan pertanyaan besar. Mengapa longsoran tanah hanya mengubur Desa Legetang?
Padahal hanya berjarak beberapa ratus meter terdapat kampung lainnya yang juga berbatasan langsung wilayahnya, bahkan dekat dengan aliran sungai dari puncaknya.
Kejanggalan selanjutnya adalah longsoran tersebut tidak menggusur melalui aliran sungai melainkan hanya berpindah ke arah lereng gunung tepat dimana Desa Legetang berada.
Itulah mengapa salah satu saksi hidup peristiwa tersebut bernama Toyib menggambarkan bahwa gumpalan tanah yang melongsor dari puncak gunung seolah terbang, bukan melongsor.
“Yang hidup cuma disisakan dua sama Allah, itu perempuan semua,” ujar Toyib. Menurutnya, kedua warga yang disikan Allah bisa jadi sebagai saksi sejarah kelam desanya.
Kendati demikian kedua perempuan yang disebut hidup usai peristiwa nahas tersebut diketahui sudah meninggal dunia.***