

inNalar.com – Surabaya, kota yang dijuluki sebagai kota pahlawan yang menyimpan segudang kisah epik di masa lalu itu, kini menjadi sorotan.
Kali ini, bukan hanya karena pertempuran heroik yang menggugah jiwa atau aroma sejarah yang menyelimuti setiap sudut kotanya, ini tentang tradisi pernikahan unik yang menggabungkan budaya besar.
Tidak hanya mengundang decak kagum, tradisi ini mungkin sukses membuat siapa pun geleng-geleng kepala ketika melihatnya.
Adalah manten Pegon, tradisi ini merupakan prosesi pernikahan antara calon mempelai yang memadukan unsur akulturasi budaya luar dari Eropa, Cina, dan Arab.
Dilansir dari balaibahasajatim.kemendikbud.go.id, tradisi manten pegon ini mulai menjamur sejak abad ke-19–bertepatan dengan lonjakan migrasi penduduk luar ke Surabaya.
Meskipun diadopsi dari berbagai budaya luar, tapi unsur budaya Jawa khususnya tradisi Surabaya-an juga masih sangat kental.
Seperti halnya tradisi loro pangkon. Ketika proses upacara pernikahan berlangsung, pengantin pria dan wanita biasanya diminta untuk duduk berhadapan dengan posisi diikat dengan sebilah kain di atas pangkon.
Sisi unik selanjutnya adalah pada penggunaan busana pengantin. Berbeda dengan baju adat lainnya, busana yang dipakai oleh pengantin perempuan ini memiliki desain unik khas Belanda yang notabene-nya adalah dress panjang.
Meskipun busana yang dikenakan bergaya Eropa, tapi penggunaan kain tradisional sutera China juga menambah kesan elegan tampilan dress manten ini.
Baca Juga: Jawa Timur Punya Kampung Unik yang Terapung di Tengah Laut, Lokasinya 8 Km dari Probolinggo
Sama seperti tata rias pengantin Jawa pada umumnya, tata rambut mempelai perempuan ini juga mengenakan sanggul, mahkota, kembang goyang, untaian melati, dan pernak-pernik lainnya khas budaya Jawa.
Pengantin pihak laki-laki juga tidak kalah unik, mereka mengenakan jubah panjang bak gamis yang lengkap dengan sorban untuk penutup kepala. Ini identik dengan budaya arab, kan?
Untuk selanjutnya, para mempelai kemudian diarak menuju rumah pengantin wanita dengan iringan silat yang uniknya membawa ayam jago.
Alih-alih menggunakan lantunan lagu daerah, tradisi ini malah diiringi dengan hadrah yang melantunkan shalawat saat proses iring-iringan dilakukan.
Setelah tiba di rumah mempelai, para pendekar silat ini akan melakukan adu parikan. Parikan sendiri dalam bahasa indonesia adalah pantun. Setelahnya, barulah mereka saling adu kekuatan.
Adu kekuatan ini merupakan simbol kemenangan telak bagi laki-laki yang berhasil merenggut hati mempelai perempuan setelah perjuangan besar yang ia lakoni.
Bagi sebagian orang, tradisi manten pegon ini mungkin bisa menjadi referensi bagi para pasangan yang tengah mempersiapkan pernikahan.
Memang terkesan unik, tapi tradisi ini banyak memberikan inspirasi bahwa pernikahan pun juga bisa menjadi tempat untuk menunjukkan identitas budaya diatas keberagaman kultural yang ada.
Selain mempromosikan keindahan budaya lokal khas Surabaya, adanya tradisi manten pegon ini menunjukkan bahwa modernitas bukan berarti meninggalkan akar tradisi yang ada.
Justru, percampuran budaya ini bisa menguatkan pesan tersirat bahwa perasaan cinta juga bisa menembus batas-batas budaya. *** (Evie Sylviana Dewi)