Jangan Kaget! Anda Nggak Bakal Temukan Nasi di Desa Unik Kebumen, Jawa Tengah Ini, Soalnya…

inNalar.com – Bagi Anda yang hobi kuliner saat berwisata, cobalah untuk sedikit hati-hati dan jeli dalam memilih destinasi mulai sekarang. Salah satu fenomena menarik datang dari sebuah desa unik di Kebumen, Jawa Tengah, yang mana penduduknya memegang tradisi pantang jual nasi!

Eits, jangan salah sangka dulu, ya! Meski nasi tidak masuk list menu di kampung ini, bukan berarti Anda tidak bisa menikmati sajian kuliner lainnya, lho! Desa di Jawa Tengah ini masih punya stok pilihan makanan tradisional yang menggiurkan lidah—meskipun tanpa kehadiran si putih sebagai pendamping tentunya.

‘Belum makan, kalau nggak makan si putih’ rasanya untaian kalimat tersebut menggelitik jika dipadupadankan dengan tradisi di kampung unik ini. Oleh karena itu, Jika Anda berencana untuk mengunjungi kampung ini, pastikan untuk siap makan tanpa si karbo ini, ya!

Baca Juga: Telak! Usai Bekuk Timnas Indonesia, Pelatih Vietnam Sindir Shin Tae-yong Soal Hal Ini

Tapi, apa alasan di balik tradisi unik ini, apakah ini terkait mitos yang sudah mendarah daging, atau hanya malas berjualan nasi saja? Yuk, simak penjelasan berikut ini!

Kampung ini adalah Penimbun, yang terletak di pelosok Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Sepintas, pedesaan ini memang tidak jauh berbeda dengan perkampungan lain—kenampakan alam yang hijau, keramahtamahan penduduk, dan suguhan atmosfer yang bisa dikatakan sangat menenangkan.

Tapi, para pengunjung yang berharap bisa menemukan warung untuk sajian kuliner pasti akan kecewa. Di desa unik ini, berjualan nasi adalah suatu pantangan keras.

Baca Juga: Syarat Vietnam Tembus Semifinal Piala AFF 2024 dengan Mulus, Filipina Siap-Siap Jadi Korban

Menurut cerita turun-temurun, larangan berjualan si putih ini bermula dari kisah rakyat setempat—tepatnya kisah seorang pengelana atau musafir yang pernah melintasi kampung Penimbun ini.

Menyadur Konten Youtube Kebumen24 Berita Kebumen Terkini, Simin Prayogi selaku Sekretaris Desa setempat menjelaskan, konon ceritanya berawal dari kisah musafir yang pernah singgah di Kampung Penimbun yang memohon belas kasih untuk diberi nasi karena kelaparan.

Karena keadaan di desa pelosok Kebumen yang serba sulit, hal itu menjadikan tak seorang pun dari warga Penimbun yang memberikannya bala bantuan. Merasa kecewa atas perlakuan warga, sang musafir ini pun pergi dengan melontarkan segala sumpah serapah dan kutukan.

Baca Juga: Gak Nyangka, Ternyata Ini Alasan Belanda Pilih Wayang Sebagai Gambar Uang Kertas Gulden

Simin menjelaskan bahwa kutukan yang menjadi tradisi desanya ini adalah: apabila warga di Kampung pelosok Jawa Tengah beserta anak cucunya berjualan makanan ini, maka akan ada musibah yang datang.

Konon, terselip suatu kisah penuh pelajaran. Alkisah, seorang warga pernah mencoba pantangan sakral desanya dengan nekat membuka kedai bernasi. Berharap dewi fortuna dan semesta berpihak padanya, ia pun melangkah dengan tekad yang begitu besar.

Namun, tak lama setelah kedai nasi itu dibuka, kabar duka justru datang menyelimuti desa Penimbun. Kabar tragis berhembus, bahwa sang penjual nasi telah dikabarkan meninggal dunia secara mendadak.

 Legenda inipun menjadi cerita turun-temurun yang pada akhirnya membentuk suatu tradisi pantang untuk menjual nasi hingga saat ini. Bahkan hingga kini, kisah penuh misteri ini selalu membayangi kehidupan warga desa setempat.

Meskipun peristiwa tragis ini hanyalah suatu kebetulan, tapi masyarakat setempat justru makin tenggelam dalam keyakinan akan mitos tersebut. Kejadian itu seolah menjadi pembenaran takdir yang memperkuat stigma dan sekaligus mengokohkan kutukan berjualan nasi di Penimbun.

Baca Juga: 1 Jam dari Trenggalek, Desa Unik ini Dikelilingi Hutan Durian Terluas se-Asia Tenggara

Alih-alih mempertanyakan atau men-denial pantangan itu, warga desa malah memilih untuk tunduk sepenuhnya, lho! Tidak ada lagi keberanian para warga untuk mendebat atau mencari alasan-alasan di balik pantangan itu.

Sejak saat itulah, tradisi ini dijadikan suatu pedoman hidup warga desa Penimbun—meskipun tidak ada hukum tertulis yang mewajibkan mereka untuk tunduk dan mematuhinya.

Kepercayaan yang diwariskan antar generasi ini tampak begitu kuat seakan menjadi suatu kode etik desa. Bagi sebagian warga Penimbun, mematuhi pantangan ini bukan hanya sekedar kewajiban, melainkan suatu kehormatan akan tradisi yang dianggap mampu melindungi keterpaduan desa. ***