
inNalar.com – Ketika berbicara tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) terendah, pasti banyak dari masyarakat yang membayangkan daerah-daerah terpencil dan terluar di pelosok negeri yang belum sepenuhnya terjamah.
Namun, fakta terbaru mungkin bisa jadi kabar yang mengejutkan, UMK terendah di Indonesia bukan berasal dari daerah pelosok, melainkan di kawasan padat penduduk Pulau Jawa.
Indonesia melalui Kementerian Ketenagakerjaan telah meresmikan kebijakan bersejarah tentang kenaikan UMP 2025 sebesar 6,5% melalui Permenaker No. 16 Tahun 2025.
Baca Juga: Polemik Uang Gulden Wayang: Sejarah Kontroversial di Balik Koleksi Bernilai Tinggi
Langkah fenomenal ini tentu menandai babak baru dalam tata kelola ketenagakerjaan di Indonesia—termasuk membawa dampak perubahan dalam penyesuaian UMK di Provinsi Jawa Tengah.
Dengan kenaikan sebesar 6,5%, maka penambahan UMP Provinsi ini adalah sebesar Rp 132.401
Tidak dapat dipungkiri bahwa UMK seringkali menjadi tolak ukur tingkat kesejahteraan serta daya beli masyarakat. Tapi kenyataannya, terdapat lima kota di Provinsi Jawa Tengah yang justru memiliki besaran UMK terendah.
Melansir jateng.bps.go.id, dengan skema UMP 2024 + kenaikan UMP 6,5%, segini besaran UMK terendah se-Indonesia tahun 2025 mendatang:
Ironis, bukan? Angka-angka tersebut tentunya berada jauh di bawah rata-rata UMK Kabupaten/Kota di Pulau Jawa yang umumnya sudah menyentuh nominal Rp 3 jutaan.
Lalu, mengapa bisa kelima Kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Tengah ini memiliki UMK terkecil se-Indonesia, adakah alasan dibaliknya? Simak detail informasi berikut!
Pertama, meski wilayah tersebut berada di salah satu Provinsi yang besar, namun mata pencaharian penduduk di lima daerah tersebut didominasi sektor informal.
Mayoritas penduduk di daerah ini banyak bekerja di industri pertanian dan industri rumahan yang tidak memerlukan tenaga kerja terampil.
Kedua, dengan menimbang poin pertama, dominasi sektor informal tentu berpengaruh besar terhadap kemampuan pembayaran upah jika dibandingkan dengan industri besar.
Oleh karena itu, UMK di lima daerah ini berpatokan pada kemampuan perusahaan lokal untuk membayar gaji buruhnya.
Ketiga, kelima wilayah tersebut kurang piawai dalam menarik investasi yang bisa menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan dengan standar upah yang lebih tinggi.
Meskipun daerah-daerah di atas dapat dikategorikan sebagai daerah yang strategis, tapi investor belum tertarik untuk membangun bisnisnya di sini karena keterbatasan infrastruktur
Lima Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah tersebut bisa jadi cerminan bahwa rendahnya UMK tidak selalu identik dengan daerah terluar dan terpencil.
Secara implisit, besaran UMK yang kurang dari Rp 2,5 jutaan ini masih menjadi ‘Pekerjaan Rumah’ bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk merealisasikan kesetaraan ekonomi yang lebih adil. ***