

inNalar.com – Thailand sedang mengalami fenomena El Nino sejak awal tahun, suhu ekstrem ini membuat efek domino pada sejumlah hal, mulai dari penggunaan listrik yang berlebihan, kekurangan air hingga inflasi.
Dilansir dari dinkes.jogjaprov.go.id Sabtu (26/08/2023), El Nino merupakan fenomena alam yang terjadi akibat interaksi rumit antara laut dan atmosfer. Dampaknya akan berpengaruh pada pola cuaca, ekosistem dan perkonomian.
Pada Aprli lalu Thailand memecahkan rekor sebagai negara terpanas di Asia tenggara dengan indeks panas mencapai 53,9 derajat Celcius, indeks tersebut berada di wilayah Phuket dan Provinsi Chonburi.
Baca Juga: Terungkap! Dosen UIN Surakarta Tewas Dibunuh Tukang Bangunan, Ternyata Motifnya karena Ini
Hal ini tentu tidak hanya berdampak pada konsumsi listrik yang melonjak (akibat penggunaan pendingin ruangan), namun lebih parahnya bisa memengaruhi perekonomian negara tersebut bahkan ASEAN.
Pasalnya fenomena El Nino ini mengakibatkan lahan pertanian mengalami kekeringan sehingga para petani di Thailand terancam gagal panen.
Menurut pemerintah Thailand, curah hujan di seluruh wilayahnya berada di bawah rata-rata yakni hanya 10 persen. Bahkan fenomena El Nino ini akan menurunkan curah hujan lebih parah lagi hingga dua tahun ke depan.
Pemerintah Thailand berencana untuk mengurangi ekspor, khususnya beras dan gula agar stok dalam negeri tetap aman selama kekeringan ini berlangsung.
Tentu saja hal ini akan berdampak pada naiknya harga gula dan beras, karena Thailand menjadi salah satu eksportir beras terbesar di kawasan ASEAN maupun dunia.
Para petani di Thailand juga diminta pemerintah untuk membatasi penanaman padi agar bisa menghemat air. Namun para petani tetap saja ingin menanam padi yang kedua karena harga ekspor yang menggiurkan serta permintaan beras global yang sedang tinggi.
Selain itu, para produsen gula mengaku bahwa sejak tiga tahun terakhir produksi gula mengalami penurunan untuk pertama kalinya.
Dilansir dari Thai BPS World Sabtu (26/08/2023), produksi beras Thailand di 2023 mungkin turun sebanyak 6 persen, yaitu antara 25,1 dan 25,6 juta ton. Hal ini berdasarkan perkiraan Kasikorn Research Center (KRC).
KRC juga memperkirakan keseluruhan produksi beras tahun ini berkisar antara 32,7 dan 33,2 juta ton. Apabila digabungkan dengan 7,6 juta ton hasil dari panen kedua, maka total panen keseluruhan akan memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri dan ekspor ke negara lain, yang diperkirakan akan meningkat dibanding tahun lalu.
KRC memperingatkan bahwa jika fenomena El Nino kali ini berkepanjangan, maka akan menyebabkan penurunan permukaan air secara signifikan, sehingga hal ini bisa merusak tanaman.
Mereka juga mendesak lembaga terkait agar segera membuat rencana pengelolaan air dan memastikan ketersediaan air yang cukup untuk budidaya serta keperluan lainnya.
World Meteorological Organization (WMO) menyatakan bahwa fenomena El Nino di Pasifik ini terjadi pertama kalinya dalam tujuh tahun dan akan terus berlanjut sampai akhir 2023.***