Mengenal Tradisi Bidar Asal Palembang, Tradisi untuk Memperingati Hari Ulang Tahun Ratu Belanda

inNalar.com – Bidar atau Biduk Lancar, merupakan kendaraan air yang digunakan untuk berpatroli di perairan Sungai Musi dan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Palembang. Perahu pada zaman dahulu ini terbiasa wara-wiri pada masa Kerajaan Palembang Darussalam.

Bidar berlangsung di sungai Musi, menurut sumber Bidar ini terjadi pertama kali dilakukan dalam rangka perayaan hari lahir Ratu Wilhelmina – Ratu Belanda – pada tahun 1898 yang memimpin negeri kincir angin selama 50 tahun, di Palembang, Sumatera Selatan.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bidar artinya kapal perang. Dilihat dari bentuknya, perahu bidar merupakan perahu pencalang yang sangat panjang tanpa atap.

Baca Juga: Inilah 5 Adat Unik yang Hanya Ada di Jambi, Salah Satunya Penyediaan Sesaji oleh Wanita Suci, Siapa Dia?

Pencalang dalam Bahasa Melayu artinya melaju cepat atau cepat pergi. Beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa Pencalang digunakan oleh prajurit Kerajaan Sriwijaya atau Kerajaan Palembang untuk berperang, setelah meninggalkan kapal utama.

Perahu bidar terbuat dari kayu atu pohon rengas. Perahu bidar ada beberapa jenis, antara lain Bidar Kecik [mini] dengan 5 sampai 11 pendayung.

Bidar Pecalangan memiliki sekitar 35 pendayung dan Bidar Besak dapat mengangkut 57-58 pendayung Perahu.

Baca Juga: Jarang Ada yang Tahu, Pelabuhan di Lampung Ini Panjangnya Sampai 6 Mil, Yuk Cari Tahu Dimana

Bidar Besak berukuran panjang sekitar 26 meter, lebar 1,37 cm, dan tinggi 70 cm.

Seiring berjalannya waktu, perahu pencalang yang dulunya dikemudikan oleh satu orang perlahan-lahan berubah. Bentuknya menjadi lebih besar dan disebut dengan bidar.

Saat ini, bidar merupakan tradisi kompetisi khas Palembang yang diadakan pada saat festival-festival besar. Seperti Hari Kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus setiap tahunnya.

Baca Juga: 4 Rekomendasi Wisata Menarik di Kalimantan Timur, Nikmati Pesona Keindahan Ribuan Jenis Ubur-Ubur Langka

Diketahui perlombaan bidar bermula dari kisah legenda Putri Dayang Merindu. Dia adalah seorang putri cantik jelita yang dicintai dan menjadi gadis yang direbutkan oleh kedua pria. Karena sang putri harus memilih, penawar terakhir harus menantang untuk memenangkan hati sang putri.

Namun sayang, kompetisi tersebut tidak menghasilkan juara. Dua pria ditemukan tewas tertelungkup di bawah bidar.

Setelah kedua pria tersebut ditemukan tewas, Putri Dayang Merindu memilih bunuh diri dengan pisau beracun. Dia menusuknya tepat di dadanya.

Namun, sebelum kematiannya, sang putri mengumumkan bahwa setelah kematiannya, seluruh penduduk harus membagi tubuhnya menjadi dua bagian dan kemudian dimakamkan bersama dua orang yang mencintainya.

Dari legenda yang beredar ini, seluruh penduduk pada akhirnya menghormati Putri Dayang Merindu yang berani bersikap adil.

Sejak saat itu, ketika penduduk setempat mengadakan acara, mereka mengadakan lomba bidar untuk menghormati idola mereka.

Perjalanan waktu lomba bidar menceritakan legenda Putri Dayang Merindu lambat laun melahirkan cerita baru, yaitu kepercayaan Raden Tokak.

Berdasarkan cerita turun temurun, peserta sering melakukan ritual dengan prasasti Kedukan Bukit, Karang Anyar, Palembang. Masyarakat mempercayai adanya sosok gaib bernama Raden Tokak dan diduga adalah siluman buaya.

Sebenarnya jika olahraga bidar tidak ditanggapi dengan serius, dikhawatir tradisi tersebut akan hilang. Padahal Bidar ini merupakan warisan asli palembang.

Beberapa pengamat sejarawan mengungkap, minat masyarakat Palembang terhadap lomba bidara sudah berkurang sejak tahun 1980-an-90an.

Jika membahas tentang perahu bidar, sebagian orang mengira bahwa perahu bidar dan perahu naga ini memiliki asal muasal yang sama, sejarah yang sama, dan alat transportasi yang sama. Namun perlu diingat bahwa keduanya mempunyai cerita yang berbeda.

Pada tahun 2015, saat menjabat Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Palembang yang kemudian dibubarkan, Zazuli mempunyai rencana untuk melatih pendayung bidar.

Hal ini dilakukan sebagai bentuk penyadaran, pemberdayaan dan pengembangan. Kesadaran ini dimaksudkan untuk menginspirasi generasi muda untuk mengembangkan potensi dirinya. Kemudian potensi yang ada akan dikembangkan melalui pelatihan.

Bahkan, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata telah menawarkan bantuan untuk melatih para pendayung biliar. Namun bantuan ini harus disalurkan kepada komunitas yang sudah berdiri minimal 5 tahun.

Namun ketika komunitas pelayaran Bidar sudah terbentuk, ia tidak lagi menjabat sehingga program tersebut terpaksa dihentikan.***

Rekomendasi