Kampung Naga di Tasikmalaya Jawa Barat, Filosofi Hidup Sederhana dari Warganya Demi Menjaga Kelestarian Alam

inNalar.com –  Jika mencari kampung dengan adat dan budaya yang masih kental, datanglah ke Kampung Naga, di kampung ini kita akan merasakan atmosfir berbeda dengan kampung kebanyakan.

Kampung Naga berada di Desa Neglasari, Salawu, Tasikmalaya, Jawa Barat. Warga desa tetap memegang teguh filosofi hidup, adat dan budaya yang telah diwariskan leluhur mereka.

Selain nuansa tradisional yang kental, masyarakat Kampung Naga juga masih erat dengan istilah pamali atau larangan melakukan sesuatu yang dianggap tabu.

Baca Juga: 4 Rekomendasi Wisata Menarik di Kalimantan Timur, Nikmati Pesona Keindahan Ribuan Jenis Ubur-Ubur Langka

Maka dari itu pengunjung maupun warga setempat sudah sepatutnya menghormati adat di kampung ini.

Kampung Naga berada tak jauh dari jalan utama Garut – Tasikmalaya, untuk bisa sampai ke kampung ini kita perlu menuruni sekitar 444 anak tangga yang jika dibentangkan akan menghabiskan jarak kurang lebih 500 meter.

Kampung Naga diapit oleh perbukitan dan serta Sungai Ciwulan yang membentang sehingga menjadikan kampung ini terasa sejuk dan damai.

Baca Juga: Rugikan Negara Rp 8,8 Miliar, Proyek Pembangunan Ikon Kalimantan Barat Gagal Dilakukan hingga Mangkrak

Apabila dilihat dari ketinggian, rumah warga Kampung Naga akan tampak berejer rapi dengan bentuk rumah yang hampir seragam.

Naga sendiri berasal dari kata na gawir  artinya sebuah desa yang berada di tepi tebing yang terjal.

Hal ini menjelaskan bahwa nama kata “naga” di sini tidak ada kaitannya dengan makhluk mitologi, ditambah lagi seluruh warga Kampung Naga beragama Islam sehingga tidak mempercayai hal tersebut.

Dilansir dari Kebudayaan Kemdikbud Rabu, 30 Agustus 2023, kampung Naga memiliki beberapa kesenian yang masih dilestarikan sampai saat ini di antaranya Terbang Sajak, terbang Gembrung, Gambang, Angklung, dan lain-lain.

Baca Juga: Jabar Waste to Energy, Berteknologi RDF dengan Anggaran Dana Rp 4 Triliun, Solusi Pengelolaan Sampah?

Salah satu kesenian musik Kampung Naga yaitu Terbang gembrung, merupakan kesenian yang dianggap sakral sehingga hanya akan dimainkan di waktu-waktu tertentu dengan disaksikan warga setempat saja.

Menurut warga setempat, Terbang Gembrung dimainkan dengan iringan lantunan shalawat pada hari-hari besar seperti Maulid Nabi, Idul Fitri, Idul Adha, dan Ramadhan.

Warga Kampung Naga berkomitmen untuk tidak menggunakan gas elpiji, hal ini dikarenakan warga setempat takut akan terjadinya kebakaran karena rumah mereka terbuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar.

Baca Juga: Perlu Anggaran Rp 80 Miliar, Proyek Pembangunan Puskesmas di Sulawesi Selatan Sudah Mangkrak 3 Tahun

Mereka juga tidak menggunakan listrik karena mempertahankan adat serta budaya yang diwariskan dari para leluhur.

Bagi warga Kampung Naga, menjaga kelestarian alam merupakan sebuah keharusan karena hal itu merupakan bagian dari warisan.

Di dekat kampung tersebut ada sebuah hutan larangan bernama Leweung Biuk, luasnya sekitar 1,5 hektar namun tidak boleh sembarangan dimasuki orang, agar hutan tersebut tidak terganggu oleh tangan – tangan manusia.

Baca Juga: Peras Anggaran Rp 3,9 Miliar, Proyek Pembangunan di Sulawesi Selatan Gagal Dilakukan, Penyebabnya…

Prinsip warga Kampung Naga untuk terus menjaga alam terbukti dari lingkungannya yang minim sampah, Sungai Ciwulan yang ada di kawasan tersebut juga bersih tanpa polutan.

Warganya juga tidak tertarik untuk beralih ke gaya hidup modern karena bagi mereka kesederhanaan membawa ketenangan dalam hidup serta menghindari manusia dari merusak lingkungan.***

 

 

Rekomendasi