
inNalar.com – Siapa sangka, Kampung Pitu di Yogyakarta punya aturan unik Loh! Yaitu hanya boleh dihuni oleh 7 KK (Kepala Keluaga) saja. Lokasinya sekitar 27 KM dari pusat kota Jogja.
Penasaran kenapa begitu? Yang pasti bukan karena luas wilayahnya yang sempit ya, tetapi kampung unik di Yogyakarta ini masih mempercayai mitos atau kutukan.
Mitosnya sudah berusia ratusan tahun, loh! Konon, jika lebih atau kurang dari 7 KK ada sanksi gak main-main sanksinya! bisa tiba-tiba pindah, bahkan sampai meninggal dunia.
Baca Juga: Cek Jadwal Operasional Layanan Terbatas BRI Periode Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024/2025
Penasaran di mana lokasinya? Tepat di puncak timur Gunung Api Purba, kampung ini bagian dari RT 19 RW 04, Desa Nglanggeran, Kec. Patuk, Kab. Gunungkidul, Prov. Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ternyata sebelum dikenal orang, Kampung Pitu ini punya nama yang berbeda, loh! Namanya Desa Talaga atau Desa Gunung Wayang.
Melansir laman warisanbudaya.kemdikbud.go.id, pada Senin (23/12), penamaan ‘Pitu’ Ini berasal dari bahasa Jawa yang berarti tujuh, karena wilayahnya hanya boleh ditempati 7 KK saja.
Baca Juga: Dari Gali Nikel ke Gali Harapan, Aksi Perusahaan Raksasa IGP Pomalaa Kembalikan 20 Cahaya Mata
Tetapi kalau bicara soal pesona alam, meskipun ada mitos unik sekaligus mengerikan, pemandangan asri dan indahnya tidak bisa dimungkiri dong, daerahnya pun cukup luas, yaitu sekitar 7 hektare.
Lantas, bagaimana nih dengan asal usul mitos tersebut dan kenapa masih bertahan hingga saat ini? Yuk. Simak selengkapnya dalam artikel ini.
Melansir desanglanggeran.gunungkidulkab.go.id, pada Senin (23/12), mitos yang berkembang berawal dari cerita rakyat atau legenda yang terjadi di Gunung Kidul.
Konon, saat puncak Gunung Api Purba belum ada berpenghuni, ada seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta yang menemukan sebuah pohon langka bernama Kinah Gadung Wulung.
Uniknya, dalam pohon tersebut tersimpan sebuah keris pusaka unik dan gaib, yang dipercaya memiliki kesaktian ekstra, oleh karenanya penguasa keraton menginginkannya.
Kemudian, diadakanlah sebuah sayembara, barang siapa yang dapat mengambil dan merawat keris. Lalu tinggal dan membersihkan wilayah sekitarnya akan mendapatkan imbalan.
Tahu apa imbalannya? Kalau zaman sekarang juga pasti pada tergiur mungkin ya, imbalannya yaitu tanah untuk ditempati oleh anak keturunan siapa saja yang berhasil memenangkan sayembara.
Pada saat itu, jelaslah banyak orang dari berbagai kalangan ikutan sayembara karena tertarik dengan imbalannya. Namun, yang memenangkannnya yaitu Eyang Iro Kromo.
Baca Juga: Berjuluk Pesantren Preman, Santri Ponpes Unik di Semarang Ini Ternyata Didominasi Eks Bandit Jalanan
Dari banyaknya peserta, eyang yang sanggup bertahan dari awal hingga akhir. Pusaka tersebut diambil dan diamankan untuk disimpan di area dalam Keraton.
Sejak saat itulah cikal bakal terciptanya Kampung Pitu, Eyang tinggal di sana bersama keenam temannya dan melestarikan keturunan mereka di sana.
Konon, jika ada keluarga dari 7 orang tersebut yang ingin tinggal di sana, tapi jumlahnya sudah pas 7 KK. harus menunggu dulu sampai ada Kepala Keluarga yang meninggal atau pindah.
Jika ingin tinggal sementara boleh saja loh, tapi dia harus nginduk pada salah satu kepala keluarga di sana, tidak boleh memisahkan dulu menjadi KK yang baru. Wah, sabar ya!
selain itu, Mereka juga harus mematuhi aturan setempat. Jika melanggar akan terjadi malapetaka, seperti dihantui hal-hal gaib, sering sakit-sakitan, tidak betah hingga meninggal dunia.
Salah satu pewaris populer dari 7 orang tersebut, namanya Mbah Rejo. Penduduk sana sering melakukan ritual bersamanya yaitu berupa Tingalan, Tayub atau Ledek, dan Rasulan.
Tinggalan yaitu perayaan ulang tahun untuk orang paling sepuh di sana, Tayub atau ledek yaitu tari kesenian khas mereka yang masih dilestarikan hingga saat ini.
Sementara itu, rasulan yang menjadi salah satu upacara rutin mereka ini bentuknya seperti acara syukuran panen. Adanya kegiatan ini mengingat mayoritas warganya berprofesi sebagai petani.
Lantas bagaimana dengan aturan 7 KK ini? kini warga setempat mengakui tidak melarang jika ada orang lain yang ingin tinggal di sana. Hanya saja, pendatang disebut harus kuat menghadapi konsekuensinya.
Saat ini, jumlah penduduknya hanya 32 orang yang tinggal di 8 rumah. Salah satu rumahnya sudah tentu kosong. Namun, untungnya sudah ada akses listrik ke sana, walaupun begitu fakta menariknya listrik di sana baru bisa diakses sejak tahun 2014.
Tidak hanya adanya mitos gaib berupa jumlah KK, salah satu aspek tidak betah, biasanya karena kesulitan akses jalan, terlebih kalau cuaca sedang hujan, loh!
Jalanan seperti pegunungan tidak berpenghuni, kondisinya sangat curam, nanjak dan berliku-liku. Sehingga membutuhkan effort yang lebih untuk sampai di tujuan.
Terlebih jarak antara rumah ke rumah sangat jauh, mereka seperti bermain petak umpat setiap hari. Namun, meskipun demikian masyarakatnya ramah-ramah dan sering bersosialisasi.
Demikian itulah informasi mengenai Kampung Pitu di Yogyakarta, Jawa Tengah yang unik dengan aturan 7 KK nya. ***