Pulihkan Deforestasi Hutan, 6 Desa di Jambi Ini Ketiban Cuan Usai Berhasil Tembus Pasar Karbon Internasional

inNalar.com – Keunikan yang tak pernah disangka, sejumlah desa di Provinsi Jambi mendadak jadi kampung miliarder berkat sukses menembus perdagangan karbon internasional.

Siapa sangka, bermula dari niat masyarakat 6 desa di Jambi memperjuangkan hak untuk mengelola hutan desa mereka melalui skema yang ditentukan oleh Kementerian Kehutanan.

Secara tak terduga enam desa di Jambi ini berhasil mendapatkan imbal jasa atas upaya mereka memulihkan lingkungan hutan yang kemudian dikenal dengan perdagangan karbon.

Baca Juga: Kilas Balik Sejarah Kontroversial G30S PKI: Kisah Dramatis Gerwani hingga Penahanan Selama Belasan Tahun

Keenam desa di Jambi tersebut meliputi Desa Lubuk Beringin, Desa Sangi Letung, Desa Senamat Ulu, Desa Laman Panjang, Desa Sungai Telang, dan Desa Durian Rambun.

Desa tersebut berhasil masuk ke dalam dunia perdagangan karbon internasional dengan skema transaksi Redd+.

Skema Redd+ merupakan skema transaksi bisnis karbon dimana perusahaan menginvestasikan dana yang digunakan untuk mencegah kerusakan hutan di negara penghasil karbon.

Baca Juga: Sempat Berhenti pada 2022, Kini Jawa Timur Kembali Mengembangkan Sistem Aplikasi Bantuan Sosial

Keenam desa tersebut mendapatkan imbalan miliaran rupiah baik dari komunitas atau perusahaan asal Eropa maupun individu yang juga turut peduli terhadap lingkungan.

Lantas, apa yang dimaksud dengan bisnis karbon? bagaimana bisa memulihkan hutan tetapi justru keenam desa di Jambi mendapatkan ketiban cuan?

Perdagangan karbon merupakan bentuk bisnis yang sebenarnya bermula dari sebuah perjanjian yang disebut dengan Kyoto Protocol 1997.

Baca Juga: Cara Makan Tempe agar Khasiatnya Maksimal, dr. Zaidul Akbar: Meningkat Berkali-kali Lipat

Dikutip inNalar.com dari laman United Nations Climate Change, “Singkatnya, Protokol Kyoto mengatur Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim dengan memberikan komitmen kepada negara-negara industri dan negara-negara dalam transisi untuk membatasi dan mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai dengan porsi yang telah disepakati.”

Jadi, perdagangan karbon ini adalah sebuah kondisi dimana negara maju yang industrinya menghasilkan karbon dioksida melebihi ambang batas.

Selain itu juga industrinya dinilai merusak lingkungan. Kemudian perusahaan tersebut harus memberikan kompensasi atau imbalan kepada negara yang hutannya menyerap karbon.

Berkat upaya warga desa di Jambi untuk memulihkan deforestasi hutan mereka hingga ribuan hektare lahan mereka inilah yang kemudian membuat perusahaan asal Eropa tertarik membayar mahal sebagai ganti dari kelebihan gas emisi karbon dioksida yang mereka hasilkan.

Lalu, Plan Vivo yang merupakan sebuah lembaga sertifikasi karbon berhasil menghitung kemampuan daya serap karbon lima hutan desa di antaranya adalah 37 ribu ton karbon setiap tahunnya.

Adapun bisnis karbon memang mulai dilirik Pemerintah Indonesia, mengingat potensi hutan Indonesia disebut mampu menyerap karbon bahkan hingga 5,5 giga ton karbon dioksida.

Terdapat pula satu area hutan di Kalimantan Tengah yang dikelola oleh PT Rimba Makmur Utama, melalui proyek bernama Katingan Mentaya Project.

Perusahaan tersebut dinilai cukup sukses dalam menjalankan bisnis karbon yang luas konsesinya setara dua kali tanah Singapura.

Inilah sekelumit keunikan dari enam desa di Jambi dan dunia bisnis karbon yang tak terduga menghasilkan miliaran rupiah.***

Rekomendasi