
inNalar.com – Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) saat ini menggelar Imtihan Wathani bagi para santri Pendidikan Diniyah Formal (PDF) tahun 2025. Namun, ada perbedaan dalam pelaksanaan ujian kali ini.
Jika Imtihan Wathani berjalan seperti lazimnya, tahun ini Kemenag membesut satu inovasi baru yang menjadikan Imtihan Wathani tahun 2025 tampak lebih Istimewa—yaitu dengan menggunakan aksara pegon.
Sejak pertama digelar, Imtihan Wathani ini telah diberlangsungkan selama delapan kali berturut-turut. Namun baru di tahun ini, ujian tersebut menggunakan aksara huruf pegon, yang notabene-nya adalah aksara klasik yang digunakan ulama Nusantara sejak berabad-abad lalu.
Baca Juga: Kurikulum Pendidikan di Indonesia Salah Kaprah? Ini Kata Pengamat Doni Koesoema
Bukan hanya sekedar perubahan teknis, langkah ini digadang-gadang adalah bentuk nyata dari pelestarian budaya literasi Islam Nusantara selaras dengan amanah Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri No.31 Tahun 2020.
Terobosan ini tidak hanya memperkaya metode ujian, karena juga menjadi momen penting dalam sejarah pendidikan Islam.
Lalu, bagaimana menurut Anda? Apakah ini menjadi tantangan, atau malah justru berpeluang untuk memahami warisan intelektual Islam Nusantara?
Baca Juga: Undip Lengserkan Unpad dari Top 5, Begini Urutan 20 Kampus Terbaik di Indonesia Versi Edurank
Sebagai informasi, pegon bukan sekedar tulisan kuno, aksara ini adalah hasil akulturasi budaya Nusantara dan budaya Arab.
Meskipun menggunakan huruf Arab, hasil akulturasi ini berhasil memodifikasi pegon, sehingga kini bisa dipergunakan untuk menulis dalam bahasa Jawa, Sunda, dan bahasa daerah lainnya.
Karenanya, tidak mengherankan bahwa eksistensi pegon ini telah ada sejak dulu, karena seringkali dipergunakan sebagai media utama dalam penulisan karya sastra, kitab-kitab klasik, hingga tembang religi.
Untuk sekarang, aksara ini bangkit kembali dalam dunia pendidikan, dengan menjadi bagian dari soal Imtihan Wathani di tahun 2025.
Langkah ini tidak hanya inovatif, namun bernilai historis karena bermuatan akulturasi dua budaya yang otentik.
Pengunaan aksara pegon bukan keputusan dadakan, lho! Ternyata, Kemenag sudah lama merancang strategi ini sebagai wujud komitmen Pemerintah dalam menjaga kualitas dan ciri khas Pendidikan Diniyah Formal—dengan menanamkan warisan intelektual Islam Nusantara.
Pengunaan aksara pegon dalam Imtihan Wathani 2025 tidak diperuntukkan bagi semua lembaga pendidikan.
Mengapa demikian? karena ini hanya dikhususkan bagi Pondok Pesantren, yang berbasis pada kitab kuning dengan sistem pembelajaran yang terstruktur dan berjenjang.
Di dunia pesantren sendiri, pendidikan telah diklasifikasi dalam dua jenjang; Ula Wustha yang setara dengan MTs/SMP dan Ulya yang setara dengan MA/SMA/SMK.
Pengklasifikasian ini bukan formalitas belaka, lho! Ini bahkan menjadi pilar utama untuk membangun santriwan dan santriwati yang unggul.
Di pesantren, para santri tidak hanya mendalami ilmu agama, namun juga ditempa untuk menguasai ilmu pengetahuan umum, agar mereka mampu berpikir kritis di tengah perkembangan zaman yang menggerus sekat dan batas.
Baca Juga: Pramono Anung-Rano Karno Siap Uji Coba Sekolah Swasta Gratis di Jakarta TA 2025/2026 Mendatang
Untuk itu, pesantren sebagai penyelenggara PDF ini harus sering berbenah, dengan terus meng-upgrade kualitas, agar setara dengan lembaga pendidikan formal lain—tidak hanya mencetak cendekiawan Muslim, namun juga mencetak pemimpin masa depan yang berpegang teguh pada nilai-nilai luhur.
Di tahun 2025 ini, sebanyak 11.077 santri dari berbagai pondok pesantren tengah bersiap menghadapi tonggak akademik dalam Imtihan Wathani.
Ujian Akhir Berstandar Nasional ini akan diberlangsungkan lima hari penuh, dimulai dari 28 Januari hingga 2 Februari mendatang.***