Dilema Tenaga Pendidik tentang Pola Asuh Permisif Pada Anak di Sekolah, Ternyata Begini Dampaknya

inNalar.com – Pendidikan permisif di Indonesia yang menempatkan posisi guru dan dosen dalam suatu dilema kian merajalela. Posisi ini tentu bak buah simalakama—bersikap tegas bisa berujung kecaman, tapi membiarkan bisa melahirkan generasi yang kebal atiran anti-otoritas.

Alih-alih mencetak generasi yang lebih disiplin dan bertanggung jawab, sistem pendidikan permisif ini malah justru melahirkan siswa yang mahir berdalih daripada berbenah, pandai menuntut hak daripada menjalankan kewajiban, dan lebih lihai mencari pembenaran daripada introspeksi.

Peran para tenaga pendidik yang seharusnya menjadi pilar utama dalam pembentukan karakter kini dihadapkan pada satu paradoks: mendisiplinkan namun berurusan dengan hukum, membiarkan siswa bebas tanpa aturan, atau hanya menyaksikan degradasi moral di depan mata.

Baca Juga: Berhasil Mencetak Banyak Pejabat Pemerintahan, Berikut Syarat Mendaftar di IPDN Tahun 2025

Sebagaimana diketahui, telah banyak kasus yang menyeret para guru atau dosen ke ranah hukum—hanya karena mereka berusaha untuk menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab.

Lalu, bagaimana jika sistem pendidikan permisif ini menjadikan generasi penerus tumbuh tanpa batasan?

Pertanyaannya adalah: bagaimana nasib Indonesia jika generasi penerusnya seperti ini, sedangkan para pendidik selalu berjalan bak di atas telur ketika berupaya mendisiplinkan?

Baca Juga: Bab 8 ’Aman di Dunia Maya’, Kunci Jawaban Bahasa Indonesia kelas 6 SD Hlm. 197 – 198 Kurikulum Meredeka Edisi Revisi

Kasus Akbar Sorasa, guru SMKN 1 Taliwang Nusa Tenggara Barat, adalah potret buram dunia pendidikan Indonesia. Berniat menegakkan disiplin dengan mengingatkan siswa untuk menjalankan ibadah, beliau justru berakhir dihukum percobaan tiga bulan lamanya.

Ironisnya, tindakan mendidik yang seharusnya diapresiasi malah dicap sebagai penganiayaan di mata hukum. Jika mendisiplinkan dianggap kejahatan, mungkinkah kita sedang membiarkan generasi baru tumbuh tanpa batas, tanpa pedoman, dan tanpa rasa tanggung jawab?

Agar tidak terus-menerus terjebak dalam lingkaran absurd pendidikan permisif ini, guru dan dosen harus dibekali dengan kiat-kiat metode ‘mendisiplinkan’ yang benar-benar efektif—bukan hanya sekedar teori di atas kertas.

Baca Juga: Menulis Resensi Buku, Kunci Jawaban Bahasa Indonesia Kelas 6 SD Bab 7 Hlm. 191-193 Kurikulum Merdeka Edisi Revisi

Salah satu guru mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam asal MTs al-Ikhlas Bontang, menyebutkan bahwa fenomena pendidikan permisif di Indonesia semakin memprihatinkan.

Beliau menegaskan bahwa tanggung jawab untuk membentuk karakter anak bukan hanya beban tenaga pendidik.

Faktanya, peran orang tua juga tidak sebatas menyerahkan anak ke sekolah lalu lepas tangan, tapi ketika sang buah hati ditegur, mereka mendadak jadi singa yang terluka.

Nah, bagaimana tipe parenting Anda sebagai orang tua? Tipe yang santaikah, jarang memberi aturan, atau hampir tidak pernah mendisiplinkan? Selamat! Itu adalah tanda-tanda pola asuh permisif!

Eits, tunggu dulu, ya—apakah kebebasan tanpa batas ini benar-benar baik untuk masa depan anak di sekolah, atau justru adalah jerat jebakan yang berujung pada penyesalan di hari esok?

Baca Juga: 4 Kampus Negeri dengan Biaya Kuliah Termurah di Jawa Tengah, Referensi untuk Calon Maba 2025!

Permissive parenting adalah kebalikan dari pola asuh helikopter yang serba mengontrol. Alih-alih ketat, metode ini lebih dikenal sebagai pola asuh ‘serba boleh’—di mana anak banyak diberikan keleluasaan tanpa batasan yang jelas karena orang tua menghindari sikap otoriter.

Sekilas terdengar sangat ideal, tapi apakah membiarkan anak untuk mengeksplor segala hal tanpa kekangan adalah cara yang terbaik untuk mendukung perkembangan mereka? Jawabannya adalah belum tentu.

Kenyataan tidaklah selalu seindah teori, kan? Tanpa batasan yang jelas, anak justru tumbuh menjadi pribadi yang kebal terhadap konsekuensi, sulit memahami otoritas, dan bahkan mereka akan merasa dunia harus berjalan sesuai dengan ekspektasinya.

Alih-alih mandiri, mereka justru terobsesi menjadi ‘raja kecil’ yang terbiasa hidup di atas singgasana kenyamanan, tapi menjadi gagap saat berhadapan kerasnya realitas.

Baca Juga: Kunci Jawaban Bahasa Inggris Kelas 10 SMA Kurikulum Merdeka: Jawab Soal Teks Little Red Riding Hood POV The Wolf Chapter 6, Hlm. 140

Ketika dunia tidak lagi memanjakan, anak menjadi kebingungan—karena mereka terus berpangku harap bahwa segalanya akan tetap berjalan sesuai kehendaknya.

Kevin Adrian, selaku senior medical editor Aldodokter, menjelaskan bahwa terdapat beberapa dampak negatif dari perilaku permisif bagi anak. Penasaran? Simak artikel ini sampai habis, ya!

Pertama, riset menunjukkan bahwa anak yang tumbuh dalam pola asuh permisif cenderung memiliki prestasi akademik yang lebih rendah. Tanpa target yang jelas dan tanpa ekspektasi dari orang tua, mereka kehilangan motivasi untuk berjuang, baik dalam meraih nilai maupun mewujudkan impian.

Kedua, orang tua permisif sering kali pasif dalam keputusan hidup anak, karena membiarkan anak menavigasi hidup tanpa arahan. Padahal, anak butuh bimbingan dalam menghadapi dilema dan konflik. Tanpa keterlibatan orang tua, mereka berisiko tumbuh dengan keterampilan sosial yang buruk.

Ketiga, anak yang terbiasa mendapatkan segala keinginannya tanpa batasan sering kali tumbuh menjadi individu yang rapuh menghadapi stres. Begitu keinginannya tidak terpenuhi, mereka mudah frustasi, sulit mengendalikan emosi, dan kurang berempati.

Keempat, tanpa aturan dan disiplin sejak kecil, anak akan kesulitan mengatur waktu dan kebiasaan. Mereka lebih mudah terjebak dalam kesenangan sesaat—menghabiskan waktu untuk bermain tanpa batas, sementara tanggung jawab dan pembelajaran justru terabaikan.

Memanjakan anak sesekali tidak ada salahnya, tapi jika setiap keinginan anak dituruti tanpa batas, maka orang tua harus bersiap untuk membesarkan ‘penguasa kecil’ yang akan kesulitan menghadapi dunia nyata seperti di sekolah.

Jika selama ini Anda merasa bahwa pola asuh di rumah terlalu longgar, tidak ada kata terlambat untuk mengubahnya! Kini, mulailah memberi dan menetapkan batasan yang sehat dan membangun disiplin tanpa mengurangi esensi dari kasih sayang.

Namun, jika transisi ini terasa sulit, jangan sungkan untuk berkonsultasi dengan para ahli, ya! Ingatlah satu hal, bahwa mendidik anak bukan sekedar membuatnya bahagia, tapi membekalinya agar bisa bertahan hidup di dunia yang tidak selalu ramah.

Jadi, masihkah Anda yakin bahwa pola asuh permisif ini adalah jalan pintas menuju masa depan yang gemilang? ***