Anggaran Kemendikdasmen Kena Pangkas Imbas Inpres, Langkah Berani atau Kehancuran bagi Pendidikan Indonesia?

inNalar.com – Dikeluarkannya Inpres No. 1 Tahun 2025 dan SK Menteri Keuangan S-37/MK.02/2025 menjadikan sejumlah Kementerian ramai-ramai angkat suara setelah Pemerintah mengeluarkan ‘jurus penghematan’ dengan memangkas anggaran APBN dan APBD tahun anggaran 2025 sebesar Rp 306, 69 triliun.

Seakan mengayunkan pedang tajam, melansir bpk.ho.id, pemerintah memangkas Rp 256,1 triliun dari total belanja negara yang mencapai Rp 3.621 triliun. Pemotongan itu menyasar ke belanja Kementerian sebesar Rp 256,1, serta dana transfer ke daerah senilai Rp 50,59 triliun.

Salah satu yang paling terkena dampaknya adalah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), karena anggaran lembaga ini harus rela digunting hingga Rp 8 triliun.

Baca Juga: Bab 5 Reaksi-Reaksi Kimia dan Dinamikanya, Kunci Jawaban Buku Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Kelas 9 SMP Hlm. 111 Kurikulum Merdeka Edisi Revisi

Ironisnya, kebijakan efisiensi yang diklaim sebagai langkah penyelamatan keuangan di era Pemerintahan Prabowo ini justru menjadi mimpi buruk bagi dunia pendidikan—seolah menegaskan bahwa investasi masa depan generasi harus dikorbankan demi menyeimbangkan neraca keuangan.

Keputusan ini pun memicu gelombang protes dan tanda tanya besar; bagaimana mungkin sektor pendidikan yang selalu dielu-elukan sebagai prioritas nasional malah menjadi korban untuk operasi bedah anggaran, lalu bagaimana masa depan generasi penerus bangsa?

Sebagaimana diketahui, Sri Mulyani, selaku Menteri Keuangan, telah merilis dokumen yang membeberkan daftar operasi bedah anggaran di Kemendikdasmen.

Baca Juga: Kunci Jawaban Bahasa Indonesia kelas 6 SD Hlm. 205-207 Kurikulum Merdeka: Teks ‘Pada Masa Depan, Robot akan Menggantikan Pekerjaan Manusia’

Ternyata, bukan hanya pengeluaran sepele seperti alat tulis kantor yang dibabat habis. Namun, pos-pos vital seperti perjalanan dinas, rapat, seminar, diklat, kajian, bahkan jasa konsultan pun juga ikut tersapu dalam gelombang pemangkasan besar-besaran.

Abdul Mu’ti, selaku Mendikdasmen, berupaya meredakan kegelisahan dengan menjamin bahwa program andalan seperti dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Program Indonesia Pintar (PIP), sertifikasi dan tunjangan guru masih tetap aman. Kendati demikian, janji ini tidak serta-merta meredam keresahan.

Dengan berbagai pos anggaran yang dipangkas tanpa ampun, mungkinkah pendidikan tetap kokoh berdiri, atau justru ini adalah pertanda bahwa dunia pendidikan tengah memasuki era gersang—di mana institusi pendidikan harus bertahan dengan anggaran yang kering kerontang?

Baca Juga: Chapter 5 Digital Life, Kunci Jawaban Bahasa Inggris Kelas 9 SMP Kurikulum Merdeka: Questions Section 2 & 3 Hlm. 275 dan 278

Kritik tajam dilontarkan oleh Iman Zanatul Haeri, Kepala Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru, yang menyoroti absurditas kebijakan efisiensi yang justru menjadikan pendidikan sebagai korban demi menopang program lain yang lebih sensasional seperti Makan Bergizi Gratis (MBG).

Beliau menyoroti betapa ironisnya sekolah-sekolah di Indonesia yang masih kekurangan fasilitas. Tidak hanya itu, masih banyak pula tenaga pendidik yang berkelindan dengan upah yang tidak seberapa.

Alih-alih mencari solusi, Pemerintah terus berkelakar untuk menggesa program revolusioner yang terbalut dalam kerangka MBG dan program quick win. Padahal, menurut Iman, daerah seperti Papua justru lebih membutuhkan akses pendidikan yang layak.

Ubaid Matraji, selaku pengamat pendidikan, juga dibuat geleng-geleng kepala melihat kebijakan efisiensi yang lebih terasa seperti hukuman ketimbang solusi. Menurutnya, anggaran pendidikan justru harus ditambah karena sektor ini masih menghadapi segudang masalah kronis.

Beliau menegaskan, sertifikasi guru bahkan masih kacau balau, kesejahteraan tenaga pendidik hanya menjadi wacana abadi, ditambah lagi sekolah di pelosok tetap berdiri tegak bertahan dalam kondisi yang dibiarkan melapuk.

Baca Juga: Anggaran Kemendikdasmen Dipotong Rp8 Triliun, Begini Nasib Pendidikan dan Guru Honorer Menurut Para Ahli

Alih-alih mencari solusi, Pemerintah justru mengambil jalan pintas dengan memangkas anggaran sebesar Rp 8 triliun. Jika ini yang disebut efisiensi, Ubaid menilai bahwa pendidikan di negeri ini seperti sedang dijadikan bahan lelucon di atas panggung kebijakan.

Ironisnya, para tenaga pendidik seolah dihimbau untuk Ikhlas dengan dalih pengabdian, seolah loyalitas dan dedikasi tulus mereka bisa menggantikan hak yang dengan begitu entengnya dipangkas.

Karena itu, Ubaid menegaskan, pemotongan anggaran ini bukan hanya sekedar kebijakan irasional, tetapi merupakan sinyal yang menunjukkan bahwa pemerintah sedang menarik ulur janji manis dan realitas pahit—mengklaim pendidikan sebagai prioritas, tapi malah mengurangi anggaran.***