Strict Parents: Didikan atau Penjara? Ternyata Begini Dampaknya bagi Anak

inNalar.com – Salah satu pola asuh yang masih marak di Indonesia adalah strict parenting, alias didikan super ketat ala strict parents yang lebih menyerupai rezim militer dibanding keluarga harmonis. Tapi, apakah benar metode ini sukses mencetak anak yang unggul? Mari kita breakdown dampak pola asuh ini menurut penelitian.

Menurut Journal of Education, strict parents adalah para orang tua yang menjalankan aturan layaknya undang-undang yang tidak bisa digugat.

Dalam rumah tangga mereka, kata “negosiasi” tidak ada dalam kamus dan para buah hati di rumah hanya memiliki dua pilihan: ikut aturan atau bersiap menghadapi konsekuensi mengerikan.

Baca Juga: Mahasiswa Demo Geruduk Istana, Mensesneg Prasetyo Hadi Tantang Dialog Terbuka Soal Indonesia Gelap

Dengan dalih “demi kebaikan anak”, mereka menekan, mengontrol, dan memastikan setiap langkah sang buah hati sudah sesuai dengan standar mereka.

Disiplin memang bagus, tapi kalau diterapkan tanpa kasih sayang, jangan heran kalau anak malah merasa seperti tahanan di rumahnya sendiri.

Di Indonesia, pola asuh ala strict parents masih dianggap normal, bahkan sering dipuja sebagai cara terbaik membentuk karakter anak. Tapi benarkah demikian? Yuk, kita bongkar contoh nyata dari praktik strict parenting yang mungkin tanpa sadar Anda lakukan:

Baca Juga: 12 Kata Mutiara Paling Bermakna Tentang Bulan Suci Ramadhan 2025 dalam Bahasa Inggris, Cocok Jadi Status Medsos

1. Jadwal Anak Lebih Sibuk dari CEO

Bangun pagi, sekolah, les piano, kursus matematika, bimbingan belajar, hafalan kitab, tidur—ulang lagi keesokan harinya.

Dengan jadwal sepadat ini, bahkan bos-bos perusahaan raksasa pun mungkin akan menyerah! Anak-anak dengan pola asuh seperti ini tidak punya waktu bernapas, apalagi sekadar bermain atau menikmati masa kecil mereka.

Baca Juga: Unit 11 My Dream Job, Kunci Jawaban Bahasa Inggris Kelas 6 SD Hal. 114-118 Kurikulum Merdeka Edisi Revisi

2. Pergaulan? Tunggu Hasil Sidang Dewan Keamanan Orang Tua

Sebelum berteman, anak harus melalui seleksi ketat ala rekrutmen perusahaan elit. Bahkan untuk datang ke acara ulang tahun teman saja, orang tua harus menginterogasi, “Siapa saja yang datang? Orang tuanya kerja di mana? Apa sudah ada riwayat kriminal?”

Apakah ini berdampak? Tentu saja! Anak bisa tumbuh jadi sosok yang canggung secara sosial atau malah nekat memberontak.

3. Kritik Tajam, Pujian Mahal

Bagi strict parents, “bagus” bukanlah kata yang pantas diucapkan kepada anaknya. Nilai 95? “Kenapa bukan 100?” Juara dua lomba? “Yang menang juara satu, bukan kamu.”

Alhasil, anak jadi terbiasa merasa dirinya tidak cukup baik, meski sudah berusaha sekuat tenaga.

Baca Juga: Unit 10 I Want To Be Pilot, Kunci Jawaban Bahasa Inggris Kelas 6 SD Hal. 100 – 111 Kurikulum Merdeka Edisi Revisi

4. Hukuman Fisik dan Verbal yang Menghantui

Demi menegakkan “disiplin”, beberapa orang tua seperti ini bahkan tidak segan menggunakan ancaman, teriakan, bahkan hukuman fisik.

Dengan kata lain, mereka percaya bahwa rasa takut adalah bentuk pendidikan yang paling efektif. Sayangnya, metode ini justru menanam trauma yang bisa terbawa hingga dewasa.

Baca Juga: Chapter 5 Fact Checking, Kunci Jawaban Bahasa Inggris Kelas 9 SMP Kurikulum Merdeka: the Steps of Checking Whether the News is Fake or Not

5. Gadget? Haram!

Di era digital ini, teknologi adalah bagian dari kehidupan. Tapi bagi beberapa strict parents, gadget adalah iblis yang harus dijauhkan dari anak-anak.

Tahukan Anda apa akibatnya? Yap! Anak tertinggal secara teknologi, gaptek, dan malah semakin penasaran untuk menyelundupkan ponsel di balik bantalnya.

6. “Karier dan Masa Depanmu Sudah Kami Tentukan!”

Mau kuliah di jurusan seni? Tidak bisa, karena keluarga ingin anaknya jadi dokter! Mau jadi atlet? Jangan harap, karena lebih baik ikut kursus akuntansi! Dalam keluarga strict, mimpi anak adalah properti orang tua.

Ternyata, pola asuh super ketat ini bukan mencetak anak disiplin dan sukses, tapi justru melahirkan generasi yang penuh tekanan. Berikut beberapa dampak seriusnya:

Pertama, karena terlalu terbiasa diarahkan, anak-anak akan tumbuh menjadi individu yang takut mengambil keputusan sendiri. Mau pesan makanan di restoran pun bingung, apalagi menentukan pilihan hidup.

Kedua, anak merasakan tekanaan selevel pegawai korporat karena tuntutan espektasi setinggi langit tanpa dukungan emosional. Ini serupa resep sempurna untuk gangguan kecemasan dan stres berkepanjangan. Tidak jarang, anak-anak ini mengalami insomnia, cemas berlebihan, bahkan depresi.

Ketiga, ketika orang tua lebih sibuk menegakkan aturan daripada membangun kedekatan, anak akan merasa dicintai dengan syarat yang pada akhirnya menyebabkan hubungan emosional menajdi hambar, penuh jarak, dan minim kehangatan.

Keempat, ketika anak semakin ditekan, maka semakin besar kemungkinan anak untuk melawan. Mereka bisa berbohong, memberontak, atau nekat melakukan hal yang bertentangan untuk menunjukkan bahwa mereka punya kendali atas hidup mereka sendiri.

Mendidik anak memang penuh tantangan, tapi menjadikan rumah sebagai tempat yang penuh aturan tanpa kasih sayang bukanlah solusi. Kalau orang tua ingin anaknya tumbuh disiplin, maka berikan keseimbangan antara batasan dan kebebasan.

Bukankah lebih baik jika anak menurut karena merasa dihargai, alih-alih merasa takut? Saatnya berhenti menjadi strict parents yang hanya tahu mengontrol dan mulailah menjadi orang tua yang bisa memahami, karena anak butuh bimbingan dengan kasih sayang. ***