
inNalar.com – Belakangan ini, media sosial dan jalanan kembali memanas. demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil mengguncang Jakarta dan kota-kota strategis lainnya.
Apa yang mengejutannya? Ternyata, kesadaran demokrasi ternyata belum mati, karena masih ada yang berani bersuara di tengah pekatnya langit oligarki, dengan jargon aksi tegas dan tanpa basa-basi.
Awalnya hanya coretan graffiti di sudut kota, kini gelombang perlawanan telah menjelma menjadi lautan massa yang memenuhi titik-titik strategis. Dalam beberapa hari terakhir, eskalasi demo makin masif, atribut makin nyeleneh, dan pesan makin menusuk.
Kreativitas satire politik rakyat kembali bangkit. Prabowo dan rezimnya kini menjadi sasaran empuk kritik mahasiswa, sebab setelah 100 hari berkuasa, alih-alih memberikan harapan, mereka justru memperlihatkan betapa kacaunya negeri.
Namun, di antara lautan kritik, ada satu teks yang mencuri perhatian: INDONESIA GELAP. Apa maksudnya? Sebuah pernyataan keputusasaan, atau sindiran terhadap keadaan yang semakin absurd?
Dalam bahasa gaul, “gelap” adalah ekspresi lelah terhadap situasi yang tidak kunjung membaik. Singkatnya, gelap berarti tidak ada refleksi, tidak ada cahaya, tidak ada harapan.
Dalam konteks Prabowo dan kabinetnya, “cahaya” itu seharusnya berupa kebijakan yang berpihak pada rakyat. Sayangnya, yang tampak justru bayang-bayang kegelapan warisan pemerintahan sebelumnya, lengkap dengan segala intriknya.
Kekecewaan rakyat alih-alih memudar, malah justru semakin dalam. Bukannya memperbaiki luka lama, pemerintah malah menambah garam pada luka. Kemesraan Prabowo dengan figur-figur yang seharusnya sudah ditolak rakyat hanya semakin memperparah keadaan.
Apakah masyarakat kecewa? Mungkin saja. Para profesional di berbagai institusi pun mulai bertanya-tanya: apakah pemerintah lebih suka mendengar bisikan manis dari lingkaran oligarkinya daripada jeritan rakyat yang semakin nyaring?
Padahal, kita punya begitu banyak falsafah kepemimpinan yang bisa dijadikan pedoman. Serat Wulangreh, Wedhatama, hingga kredo Ki Hajar Dewantara: Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani.
INDONESIA GELAP? Ya, gelap karena kita sedang berada dalam situasi yang absurd. Tapi, semakin pekat kegelapan, semakin jelas pula cahaya di ujung Lorong, kan? Kini, pertanyaannya: apakah kita hanya akan berdiam diri dalam gelap atau mulai menyalakan obor perlawanan?
Sebab satu hal yang pasti: rakyat tidak akan selamanya diam. People power itu mahal, tapi jika terus dipancing, ledakannya tidak akan bisa dihentikan. Masihkah para pemimpin kita berpikir bahwa kritik hanyalah ancaman? Ataukah mereka cukup bijak untuk melihatnya sebagai peringatan terakhir sebelum semuanya terlambat?
Sebagai respons atas peristiwa ini, Mensesneg Prasetyo Hadi akhirnya turun tangan. Dalam aksi di Patung Kuda Jakarta, beliau dengan penuh retorika menyatakan kesiapan pemerintah menerima tuntutan massa dan mempelajarinya.
Dengan penuh gaya, ia menawarkan dialog langsung dengan perwakilan mahasiswa. “Mari kita berdiskusi yang konstruktif.” katanya.
Namun, Koordinator lapangan aksi ‘Indonesia Gelap’ langsung mengultimatum, “Kami beri waktu 2×24 jam!”
Prasetyo bahkan sampai menandatangani dokumen tuntutan. Berikut sembilan poin tuntutan dari BEM SI:
1. Cabut Inpres Nomor 1 Tahun 2025
2. Buka Semua Borok Pembangunan dan Pajak Rakyat
3. Audit Total Program “Makan Bergizi Gratis”
4. Hentikan Dagelan Revisi UU Minerba
5. Stop Dwifungsi TNI
6. Sahkan RUU Perampasan Aset
7. Tingkatkan Pendidikan dan Kesehatan, Jangan Cuma Pencitraan
8. Tuntaskan pelanggaran HAM berat dan tolak segala bentuk impunitas
9. Hentikan Manuver Jokowi di Pemerintahan Prabowo
Jadi, pertanyaannya kini bukan lagi apakah pemerintah akan bertindak, tetapi apakah mahasiswa dan rakyat akan terus membiarkan kegelapan ini berkuasa? Bukankah sejarah membuktikan, ketika rakyat marah, maka tidak ada satu kekuatan pun yang bisa menghentikannya? ***