Bikin Merinding! Ritual Sakral Grebeg Syawal di Keraton Yogyakarta Jadi Ajang Rebutan Gunungan

inNalar.com – Lupakan film blockbuster, karena Grebeg Syawal di Keraton Yogyakarta jauh lebih epik! Tiga kali dalam setahun, keraton menyajikan sebuah pertunjukan epik yang melibatkan ratusan orang, prajurit, dan gunungan makanan yang jadi rebutan.

Ini bukan sekadar upacara, tapi warisan yang sudah bertahan berabad-abad, tetap eksis meski dunia semakin modern dan sibuk dengan influencer TikTok.

Ada dua kubu pendapat di sini. Yang pertama, istilah “Grebeg” berarti “diiringi atau diantar banyak orang.” Sangat masuk akal, mengingat setiap acara ini memang dipenuhi iring-iringan prajurit dan abdi dalem yang berjalan gagah membawa gunungan.

Baca Juga: Dihujani Pertanyaan Nyinyir Saat Lebaran? Begini Trik Jitu dan Counter Attack yang Elegan!

Namun, ada juga yang percaya bahwa “Grebeg” berasal dari kata “Gumrebeg,” yang menggambarkan deru angin atau kehebohan yang terjadi selama upacara.

Apa pun itu, satu hal yang pasti: acara ini selalu berhasil menarik perhatian banyak orang, baik yang ingin berdoa, yang penasaran, atau yang hanya datang demi mendapatkan bagian dari gunungan.

Seakan satu kali dalam setahun tidak cukup, Keraton Yogyakarta menggelar Grebeg sebanyak tiga kali: Grebeg Syawal (1 Syawal), Grebeg Besar (10 Besar), dan Grebeg Mulud (12 Mulud). Nah, ketiga upacara ini membuktikan bahwa di Yogyakarta, kemeriahan tidak pernah setengah-setengah, lho!

Baca Juga: 5 Aktivitas Penting di Rest Area Ini Sering Dianggap Sepele saat Mudik Lebaran 2025, No. 3 Rugi Kalau Gak Diintip!

Lalu, bagaima sih awal mula munculnya tradisi Grebeg Syawal di Keraton Yogyakarta? Simak artikel ini lebih lanjut kalau Anda penasaran, ya!

Dulu, di zaman kerajaan Jawa kuno, raja memberikan sedekah kepada rakyatnya sebagai simbol kepedulian dan cara menjaga kestabilan kerajaan. Namun, ketika Islam masuk melalui Kerajaan Demak, tradisi ini sempat berhenti, darisinilah kekacauan dan keresahan mulai terjadi.

Walisongo pun turun tangan dan menghidupkan kembali tradisi ini sebagai bagian dari strategi penyebaran Islam. Alhasil, lahirlah Sekaten, yang awalnya adalah perayaan Maulid Nabi.

Baca Juga: Jalanan Jakarta Makin Lega, Daerah di Yogyakarta Ini Bersiap Sambut 2 Juta Pemudik saat Libur Lebaran 2025

Namun, perlu diketahui bahwa Sekaten ini kemudian berkembang menjadi festival keagamaan sekaligus kebudayaan. Dari Demak, tradisi ini kemudian diadopsi oleh kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Jawa, termasuk Yogyakarta.

Ketika Kesultanan Yogyakarta berdiri, Sultan Hamengkubuwono I menetapkan Grebeg sebagai bagian dari sistem kerajaannya. Saat itu, acara ini bukan hanya soal sedekah, tetapi juga ajang politik.

Para bupati dari berbagai daerah datang membawa upeti, memperlihatkan kesetiaan mereka kepada Sultan. Seiring berjalannya waktu dan dengan integrasi Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia, sistem upeti pun dihapus, tetapi tradisi Grebeg tetap bertahan sebagai acara budaya.

Sekarang, mari kita bahas daya tarik utama dari Grebeg; Gunungan. Jika Anda pikir ini hanya tumpukan makanan biasa, pikirkan lagi, ya!

Gunungan adalah lambang kemakmuran dan berkah dari Sultan untuk rakyatnya. Ada lima jenis gunungan yang selalu muncul dalam setiap Grebeg:

Baca Juga: Mau Mudik Lebaran via Trans Jawa? Cek Tarif Tol dari Jasa Marga Berikut, Biaya Jakarta-Surabaya Rp859.500

• Gunungan Lanang (3 buah) – Simbol keperkasaan dan kemakmuran.
• Gunungan Wadon (1 buah) – Melambangkan kesuburan dan kesejahteraan.
• Gunungan Darat (1 buah) – Berisi hasil bumi yang mencerminkan kekayaan agraris.
• Gunungan Gepak (1 buah) – Berisi makanan ringan yang siap disantap oleh warga.
• Gunungan Pawuhan (1 buah) – Disiapkan secara khusus sebagai sedekah untuk masyarakat.

Total ada tujuh gunungan yang kemudian diarak ke tiga lokasi berbeda: Masjid Gedhe Kauman, Pura Pakualaman, dan Kantor Kepatihan.

Setelah sampai di tempat tujuan dan didoakan, gunungan ini berubah fungsi menjadi ajang pertempuran rakyat, karena semua orang berlomba-lomba untuk mendapatkan bagian dari makanan tersebut.

Baca Juga: Cuma dengan 6 Tips Ini, Puasa Makin Sehat dan Energi Full Sepanjang Bulan Ramadhan

Katanya, siapa yang berhasil mengambilnya akan mendapatkan berkah. Tidak heran kalau perebutannya bisa seintens war tiket konser K-pop.

Nah, jangan kira Grebeg ini sekadar bikin gunungan lalu selesai. Ada serangkaian acara yang harus dilewati, termasuk Gladhiresik Prajurit atau latihan baris-berbaris ala prajurit keraton, serta Numplak Wajik atau ritual simbolis untuk memulai pembuatan gunungan.

Lalu pada hari H, delapan bregada prajurit akan berbaris rapi dari Pracimasana menuju Alun-alun Utara. Barisan ini dipimpin oleh Bregada Wirabraja, diikuti oleh Bregada Dhaeng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Nyutra, dan Ketanggung.

Tidak lupa, ada Bregada Surakarsa dan Bugis yang khusus mengawal gunungan ke Masjid Gedhe dan Kepatihan. Pakualaman pun ikut serta dengan mengirimkan Bregada Lombok Abang dan Plangkir, lho!

Ketika gunungan akhirnya sampai di tempat tujuan, prosesi doa dilakukan, momen yang ditunggu pun tiba: rebutan gunungan!

Seperti orang-orang yang berlomba mendapatkan barang diskon di hari belanja online, masyarakat berbondong-bondong mengambil bagian dari gunungan dengan harapan membawa pulang berkah. Begitu semua makanan habis, maka berakhirlah upacara Grebeg.

Nah, jikalau Anda berada di sana, apakah Anda akan ikut berebut gunungan atau malah sibuk mengambil foto untuk konten media sosial?

Jadi, apakah Grebeg ini hanya ritual kuno yang dipertahankan atau sebenarnya cerminan sistem sosial dan politik yang tetap relevan hingga sekarang? Silakan pikirkan sambil menunggu Grebeg berikutnya! ***