Revisi UU ASN 2025 Jadi Drama Adu Tensi, Apa yang Sebenarnya Terjadi?

inNalar.com – Rapat DPR RI dari komisi II yang digelar secara tertutup pada awal Maret lalu, yang disebut hanya membahas revisi UU ASN, seketika berubah jadi drama adu tensi, karena lebih mirip audisi sinetron ketimbang diskusi legislasi.

Wajar saja, ini dikarenakan pembahasan yang datang juga secepat kilat tanpa adanya aba-aba. Bahkan, beberapa angota DPR sendiri juga mengaku tidak tahu-menahu soal usulan revisi ini sebelumnya.

Padahal tinta UU ASN Nomor 20 Tahun 2023 belum juga kering, tiba-tiba sudah nongol lagi di daftar Prolegnas 2025, seolah undang-undang itu cuma draf skrip sinetron yang bebas direvisi sesuai alur kekuasaan.

Baca Juga: Viral Wisuda SMK di Purwokerto Mewahnya Saingi Universitas, Acara Kelulusan Siswa Kini Jadi Ajang FOMO Tahunan

Terlihat seperti tim kreatif yang tengah menyusun plot serial politik dibanding legislasi yang rasional, karena satu hal; satu pasal bisa menjadi seribu tafsir. Bagaimana menurutmu?

Eits, jangan terkecoh, ya! Meski hanya revisi satu pasal yakni di pasal 30 yang notabene-nya mengatur kewenangan pembinaan ASN, tapi implikasi dari hal ini terasa seperti membuka kotak pandora, lho! Ada yang tahu kenapa?

Tepat sekali! Revisi ini memberi wewenang penuh bagi Presiden untuk mengangkat, memutasi, bahkan memberhentikan pejabat tinggi negara dari pusat hingga daerah.

Baca Juga: Pendidikan Karakter ala Militer, 274 Siswa Digembleng Demi Pancawaluya Jabar Istimewa

Sekilas memang tampak sah meningat Presiden adalah kepala Pemerintahan. Namun jika ditinjau dalam lensa sistem desentralisasi, sentralisasi seperti ini lebih mirip regresi dan bukan menjadi suatu solusi.

Menyadur Youtube DPR RI, Rifinizamy Karsayuda, selaku Ketua Komisi II DPR RI, berdalih bahwa langkah ini dirasa efektif untuk mencegah ketidaknetralan ASN dalam Pilkada.

Tapi fakta di lapangan justru berbicara sebaliknya, karena ketidaknetralan ini bukan disebabkan karena kurangnya kontrol, tapi karena ASN yang sudah terlalu nyaman bermain di panggung politik lokal.

Baca Juga: Latihan Soal Teks ‘Are Social Media Platforms Safe?’, Bahasa Inggris Kelas 12 SMA/MA Kurikulum Merdeka

Loyalitas mereka tidak kepada negara, tapi kepada siapa-siapa saja yang punya tiket emas dan kekuasaan. Seperti yang dikatakan oleh salah satu ASN yang menyebutkan bahwa atasan mereka didominasi oleh pilihan partai.

Di atas kertas, revisi UU ini mungkin terdengar seperti misi mulia karena memuat tiga hal; 1) bisa menyelamatkan mereka dari intervensi politik daerah; 2) membuka jalan karier untuk berkompetensi ke level nasional; 3) merapkan sistem meritokrasi.

Tapi jika direfleksi lebih mendalam, sejak kapan birokrasi negara ini benar-benar bebas dari tekanan politik? Bukankah banyak ASN yang aktif melamar masuk dalam orbit politik kekuasaan karena tahu bahwa itulah jalan tercepat untuk promosi?

Ingat satu hal, bahwa revisi UU ini bisa jadi undangan terbuka bagi elite pusat untuk ikut andil di dapur politik lokal, karena yang disebut konsolidasi kekuasaan, kini semakin marak dibalut dengan jargon penguatan reformasi. Menurut kalian bagaimana, apakah perlu untuk mengawal revisi ini?***