
inNalar.com – Barito Utara mendadak jadi trending topik belakangan ini, bukan karena inovasi tata kelola pemerintahan, tapi karena satu ironi besar dalam sejarah pilkada Indonesia: dua paslon bupati didiskualifikasi akibat praktik politik uang.
Tidak ada pemenang, tidak ada legitimasi, yang tersisa hanya pertanyaan berjejak di kepala: sejauh mana demokrasi kita telah disulap menjadi ladang transaksi?
Dalam putusan nomor 313/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu, 14 Mei 2025, hasil putusan itu kini mengguncang panggung politik lokal.
Baca Juga: Anak SD di Indramayu Viral Usai Memohon ke Dedi Mulyadi Buat Perbaiki Jalan Rusak 15 Tahun
Sebagaimana diketahui, MK telah mencoret kedua paslon dari kontestasi pemilu; paslon 1 (Gogo Purnama Jaya dan Hendro Nakalelo) serta paslon 2 (Akhmad Gunadi Nadalsyah dan Sastra Jaya).
Perlu dicatat, mereka dicoret bukan karena kekurangan administratif, tapi keduanya tergelincir dalam permainan amplop praktik politik uang.
Di ruang sidang yang notabene-nya mengadili fakta, publik justru disuguhi kisah absurd. Saksi bernama Santi Parida Dewi menerima Rp 16 juta per suara dari tim sukses paslon 2. Dengan empat suara di keluarganya, ia mengantongi cuan jumbo berjumlah Rp 64 juta.
Sementara itu, Edy Rakhmat, sebagai saksi di pihak lawan, menyebut bahwa dirinya menerima Rp 6,5 juta dan tiket umroh dari tim paslon 1. Ironis, bukan? Jika kampanye biasanya adu visi-misi, di Barito Utara rupanya cukup dengan uang dan janji ke Tanah Suci.
Lazimnya, kita tentu paham bahwa politik uang bukan kabar baru. Tapi, ketika dua kontestan utama yang seharunya menjunjung etika malah saling terjerembab dan didiskualifikasi karena pelanggaran berat, bagaimana menurutmu, apakah ini tanda dari cacatnya demokrasi?
Komisi Pemilihan Umum, yang kerap jadi kambing hitam dalam kegagalan elektoral, kali ini buru-buru cuci tangan. Idham Holik, selaku anggota KPU RI, menyebut bahwa kekacauan dan segala chaos tersebut adalah murni kesalahan peserta, bukan dari pihak penyelenggara.
Baca Juga: Curang saat Seleksi Bintara, Oknum Polisi di Makassar Beri Contekan Jawaban ke Peserta Pakai ChatGPT
Meskipun penyelenggara tidak ikut cawe-cawe dalam skandal bagi-bagi amplop, KPU masih tetap harus memikul konsekuensinya; pilkada ulang harus digelar dalam 90 hari, dengan dana yang dicongkel dari APBD.
Kementerian Dalam Negeri juga ikut merapat. Wakil Mendagri Bima Arya buru-buru mengumumkan rencana koordinasi dengan Pemda Barito Utara, demi memastikan anggaran tersedia.
Pertanyaannya adalah, jika sebelumnya APBD digunakan untuk membiayai satu kali pilkada, bagaimana sekarang? Apakah rakyat harus rela posyandu tertunda demi membayar harga dari transaksi politik yang gagal disamarkan?
Mungkin kita butuh satu inovasi baru dalam pilkada, dimana kandidat harus bersaing menawarkan tarif tertinggi untuk suara rakyat, lalu ditayangkan langsung di TV nasional, agar semua pihak tahu siapa yang paling dermawan dan siapa yang paling murah hati.
Ironisnya, dalam sejarah kelam ini, tak ada satupun elite yang malu. Semuanya berjalan seperti biasa. Para saksi dibayar, suara ditukar, dan pejabat dibentuk dari transaksi. Sementara rakyat?
Tepat sekali! Mereka masih tetap berharap bahwa pilkada berikutnya mungkin akan lebih jujur. Meski secara statistik, harapan itu lebih kecil dari peluang menang undian umroh tanpa embel-embel politik.
Barito Utara mungkin hanya satu contoh. Tapi daerah itu menyimpan pelajaran besar. Bahwa selama politik uang masih dianggap ‘tradisi’ dan suara rakyat bisa dikalkulasi, maka demokrasi Indonesia akan terus seperti ini; bising, mahal, dan kosong. ***