
inNalar.com – Ketegangan konflik Timur Tengah kembali mengguncang pasar keuangan global, termasuk Indonesia.
Pada Senin (23/6/2025) pagi, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka melemah tajam ke posisi 6.790, sedangkan nilai tukar rupiah melemah, turut terdepresiasi ke Rp16.456 per dolar AS, berdasarkan data Bloomberg pukul 09.23 WIB.
Anjloknya IHSG dan pelemahan rupiah terjadi tak lepas dari meningkatnya eskalasi konflik antara Iran dan Israel, yang kini melibatkan Amerika Serikat secara langsung.
Serangan balasan Iran terhadap Israel memicu keterlibatan militer AS yang kemudian menyerang fasilitas nuklir Iran.
Aksi militer ini menimbulkan kekhawatiran besar di pasar global akan risiko meluasnya konflik di kawasan Timur Tengah, yang merupakan salah satu penghasil minyak terbesar di dunia.
Ketidakpastian tersebut membuat investor global mengambil langkah defensif.
Baca Juga: 11 PTN Masih Buka Pendaftaran Jalur Mandiri hingga Juli 2025, Cek Daftarnya
Aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk saham di Indonesia, dilepas oleh investor asing yang memilih mengalihkan dana ke instrumen yang dianggap lebih aman.
Dampaknya, aliran modal keluar (capital outflow) meningkat, mendorong pelemahan IHSG sekaligus tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Tak hanya itu, konflik Timur Tengah ini juga berpotensi mendorong kenaikan harga minyak dunia, mengingat Iran merupakan salah satu produsen utama minyak global.
Baca Juga: Luasnya 11.295 M2, Pabrik Permen Terkenal di Pasuruan Jawa Timur Resmi Tutup, Ini Penyebabnya
Harga minyak yang melonjak dapat mendorong biaya energi dan logistik, serta meningkatkan tekanan inflasi di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat.
Saat ini, ekonomi AS sendiri sedang menghadapi risiko inflasi tinggi, seiring dengan kebijakan ekspansif yang mendorong pertumbuhan suplai uang (Money Supply/M2).
Kondisi tersebut mendorong ekspektasi pasar bahwa The Fed bisa kembali menaikkan suku bunga, yang memperkuat dolar AS dan menambah tekanan terhadap mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.
Fenomena ini mencerminkan risk-off sentiment. Maksudnya, ketika pelaku pasar global memilih keluar dari pasar berisiko dan menempatkan dananya di zona yang dianggap lebih stabil.
Akibatnya, iklim investasi di Indonesia ikut terdampak lesu, ditambah oleh kekhawatiran bahwa konflik Timur Tengah akan semakin dalam dan panjang.
Jika konflik tidak segera mereda, maka arus keluar investasi asing (capital flight) bisa terus berlanjut, dan pasar Indonesia akan tetap berada dalam tekanan dalam waktu dekat.***(Ahmad Nuryogi Ardiansyah)