
inNalar.com – Setiap kali truk bermuatan berat menumpuk di Pelabuhan Merak, antrean terasa seperti tak bergerak. Di tengah deru mesin dan suara klakson, tak sedikit supir logistik yang menunggu berjam-jam untuk menyebrang menuju Sumatera.
Bagi mereka waktu bukan hanya uang, tetapi juga tenaga dan terkadang kehilangan momen di rumah. Bayangan akan sebuah jembatan yang membentang dari Banten hingga Lampung mungkin bisa jadi mimpi indah.
Jembatan darat yang langsung melintasi laut, tanpa perlu kapal dan mengantre. Bak dulu pemerintah memimpikan proyek Bernama Jembatan Selat Sunda.
Wacana tentang Jembatan Selat Sunda sejatinya bukan baru kemarin sore.
Sudah sejak tahun 1960-an, gagasan menyambungkan Jawa dan Sumatera lewat darat menjadi perbincangan serius, diawali oleh konsep Tri Nusa Bimasakti yang mencita-citakan terhubungnya Jawa, Sumatera dan Bali.
Panjang jembatan Selat Sunda diperkirakan mencapai sekitar 29-30 kilometer, membentang dari Anyer di Banten ke Bakauheni di Lampung. Lebarnya diproyeksikan cukup untuk enam jalur kendaraan, lengkap dengan jalur darurat.
Namun mimpi besar selalu datang dengan Harga mahal. Untuk mewujudkan jembatan ini, dana fantastis.
Laporan Bappenas dalam Buku I RPJMN Tahun 2010-2014, memperkirakan mega proyek ini membutuhkan Rp225 triliun.
Angka tersebut membuat proyek ini digadang-gadang sebagai salah satu jembatan termahal di dunia.
Pemerintah RI sendiri juga sempat menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) terkait pembangunan Jembatan Selat Sunda pada 2011.
“Memberikan persetujuan terhadap rencana pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda,” tulis Poin C Pasal 7 Perpres No 86 Tahun 2011.
Kala itu, pemerintah memperkirakan kebutuhan dana awal sekitar lebih dari Rp 100 triliun, dengan waktu pembangunan mencapai 8 hingga 10 tahun.
Seperti banyak rencana besar lainnya, proyek ini terhenti di tengah jalan. Isu pemerataan pembangunan, beban APBN, dan risiko geologis menjadi faktor penghambat.
Belum lagi lokasi pembangunan yang berada di zona rawan bencana. Selat Sunda dikenal aktif secara tektonik, dan Gunung Anak Krakatau yang berdiri di tengah jalur rute jembatan ini masih menyandang status “waspada”.
Butuh teknologi kelas dunia untuk membangun struktur yang bisa bertahan terhadap gempa, letusan gunung berapi, bahkan potensi tsunami. Dan teknologi seperti itu, tentu, tidak murah.
Jembatan ini, jika terwujud, bisa memangkas waktu, membuka peluang ekonomi baru, dan mendorong pertumbuhan wilayah yang selama ini cenderung tertinggal.
Memasuki periode pemerintahan baru 2024–2029, arah pembangunan nasional pun kembali mengalami pergeseran.
Presiden terpilih Prabowo Subianto bersama wakilnya Gibran Rakabuming Raka telah menetapkan visi besar “Indonesia Emas 2045” yang dituangkan dalam 8 misi strategis, dikenal sebagai Asta Cita.
Dalam delapan misi itu, meski infrastruktur tetap disebut sebagai salah satu poin penting, tidak ada penekanan eksplisit terhadap proyek Jembatan Selat Sunda.
Dengan arah pembangunan seperti ini, mega proyek Jembatan Selat Sunda secara implisit tak lagi menjadi prioritas nasional.
Pemerintah tampaknya lebih memilih proyek-proyek yang langsung berdampak pada distribusi ekonomi mikro, penguatan desa, dan kemandirian sumber daya.