

InNalar.com – Terdapat satu tambang emas di Papua yang selama ini jadi polemik antara dua pihak.
Tambang di daerah Timika yang memiliki kandungan emas dan tembaga yang cukup melimpah.
Selain itu, yang selama ini jadi masalah adalah kepemilikan saham di tempat tersebut antara PT Freeport Indonesia (PTFI), dengan pemerintah Indonesia yang layaknya cuma jadi penonton.
Maksud dari penonton adalah karena Indonesia sendiri yang memiliki kekayaan alam tersebut hanya mempunyai sedikit sekali kepemilikan dari mineral tersebut.
Berdasarkan sejarahnya, penemuan hasil mineral ini ditemukan oleh geolog asal Belanda sehingga membuat geolog Freeport tertarik.
Setelah melakukan penelitian di daerah Timur Indonesia tersebut dan mengajukan ke presiden Soekarno, ternyata ditolak.
Pasalnya, saat itu Soekarno menolak dengan adanya kapitalisasi Barat ke Indonesia.
Namun perjuangan PTFI untuk merauk keuntungan dari kekayaan sumber daya alam di Indonesia tidak berhenti disitu.
Sebab akhirnya setelah menjalani proses negosiasi yang alot dan panjang, akhirnya perusahaan itu diberi ijin oleh presiden ke-2 RI, yaitu Soeharto.
Baca Juga: Cocok Buat Healing, Bukit di Sumba Timur Ini Suguhkan Panorama Bak Dunia Fantasi, Pernah Kesini?
Dilansir InNalar.com dari laman p2k Unpad, saat di pemerintahan Soeharto dirinya ini membuka pintu investasi lebar-lebar guna memberikan pembangunan ekonomi di Indonesia pasca pergantian presiden.
Langkah meningkatkan ekonomi Indonesia yang saat itu tengah terpuruk terdapat di Undang-undang Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967).
Akhirnya setelah pemimpin tertinggi Freeport berdiskusi alot dan panjang, pada tahun 1967 perusahaan itu resmi mengeksploitasi tambang yang ada di Papua.
Karena pada saat itu presiden ke-2 RI menandatangi kontrak yang menyebutkan jika Freeport akan mengeksploitasi sumber daya alam di Timur Indonesia tersebut selama 30 tahun.
Jika berdasarkan kesepakatan yang dimulai tahun 1967, sebenarnya kontrak PTFI di Indonesia akan berakhir pada tahun 1997.
Pada saat awal itu sebenarnya hasil mineral yang ada di daerah tersebut hanya terdapat tembaga.
Akan tetapi, ternyata PTFI justru menemukan tambang emas yang bisa jadi terbesar di dunia sehingga meminta kontraknya diperpanjang lagi.
Padahal sebenarnya jika ingin kontrak itu diperpanjang, seharusnya PTFI harus menunggu hingga tahun 1991.
Namun karena terkecoh dengan hasutan dan kepintarannya, akhirnya kontrak kembali ditanda tangani oleh Soeharto.
Disinilah hal yang membuat Indonesia seperti jadi penonton saat kekayaan alamnya dieksploitasi oleh perusahaan asal Amerika itu.
Karena pada kontrak yang ditanda tangi itu, sebenarnya terdapat ketentuan jika saham yang dimiliki PTFI harus dilepas secara bertahap ke Indonesia.
Pelepasan kepemilikan itu nantinya harus berakhir pada tahun 2011 hingga Indonesia memiliki 5% kepemilikan.
Walaupun ternyata pada ketentuan di kontrak tersebut, ternyata etrdapat tulisan yang menyatakan jika peraturan ini akan berubah mengikuti peraturan terbaru yang tengah aktif.
Beruntung atau sialnya, presiden Soeharto justru menerbitkan PP 20 Tahun 1994 yang menjelaskan jika perusahaan asing dapat memiliki kepemilikan hingga 100%.
Karena itulah selama ini kepemilikan tambang emas dan tembaga di Papua itu selalu dimiliki oleh Freeport.
Sedangkan pada saat itu saham yang dimiliki Indonesia pada kekayaan alam yang ada di Timur Indonesia itu cuma sebesar 9.36%..
Akhirnya pada tanggal 27 September 2018, kepemilikan saham dari tambang emas dan tembaga di Papua itu berhasil di akuisisi.
Pasalnya saat di masa pemerintahan Jokowi, dirinya memberikan kesepakatan baru agar mayoritas saham di tambang itu jadi milik Nusantara.
Baca Juga: Habiskan Dana Rp151,6 Miliar, Jokowi Resmikan 3 Terminal Modern Jelang Akhir Masa Jabatan
Jadi, hingga kini mayoritas saham itu telah diakuisisi oleh Indonesia sebesar 51,23%.
Sedangkan untuk Pemda Papua sendiri akan mendapat 10% dari 100% saham PTFI.
Akan tetapi walau akhirnya setelah sekitar 5 dekade dikuasai Freeport, namun ternyata perusahaan itu akan tetap mengeksploitasi kekayaan alam itu hingga tahun 2061 nanti.
Pasalnya, kontrak Indonesia dengan perusahaan asal Amerika itu baru saja diperbarui hingga tahun 2061. ***