

inNalar.com – Permasalahan yang sempat mewarnai proses pembangunan Jalan Tol Padang-Pekanbaru cukup berbeda dari pada umumnya.
Terutama saat negosiasi alot terjadi pada proses pembebasan lahan terdampak Proyek Jalan Tol Padang-Pekanbaru.
Beberapa nagari yang terdampak trase proyek ini bersikeras menolak lahan mereka beralih menjadi jalan raya bebas hambatan.
Alasan sesungguhnya bukan karena menolak Proyek Jalan Tol Padang-Pekanbaru dan bukan soal untung buntung nilai ganti rugi lahan.
Melainkan karena masyarakat di beberapa nagari yang terdampak trase Jalan Tol Padang-Pekanbaru memegang teguh status tanah harta pusaka tinggi.
Sebagai selingan informasi terlebih dahulu, status tanah tersebut sangat membudaya di kalangan masyarakat Sumatera Barat.
Statusnya disebut sebagai tanah pusaka tinggi itu ketika warisan hartanya telah turun-temurun hingga tiga generasi.
Hukum adat yang seringkali menerapkan sistem guna lahan ini adalah masyarakat asli Minangkabau.
Harta pusaka tinggi berupa lahan menjadi sangat berharga bagi masyarakat nagari yang terdampak trase Jalan Tol Padang-Pekanbaru.
Alasannya sederhana dan logis, karena lahan yang mereka pegang secara turun-temurun digunakan untuk menjamin kelanjutan hidup mereka.
Tidak hanya itu, tanah ulayat tersebut menjadi salah satu simbol eksistensi dan kewibawaan mereka.
Itulah mengapa warga nagari terdampak proyek penghubung Padang dan Pekanbaru ini sangat kokoh mempertahankan harta tanah pusaka tinggi mereka.
Bukan lagi soal ganti untung lahan, tetapi ada kekhawatiran dari masyarakat pemilik lahan adat tersebut bahwa mereka akan kehilangan akses terhadap tanah sendiri.
Hal tersebut diungkap dalam sebuah penelitian yang dilakukan sekelompok peneliti dari Universitas Andalas.
“Mereka khawatir akan hilangnya akses terhadap tanah tersebut apabila digunakan untuk pembangunan jalan tol,” dikutip inNalar.com dari hasil penelitian tersebut.
Lebih terang lagi diungkap oleh sekelompok peneliti dari Universitas Riau, duduk permasalahannya diungkap lebih mendalam.
Harta pusaka tinggi berupa tanah adat yang terdampak proyek Jalan Tol Padang-Sicincin ini meliputi Korong Sungai Pinang, Caniago, dan Kasai.
Para peneliti menilai duduk permasalahan bagi perkembangan pembangunan proyek jalan tol penghubung Padang-Pekanbaru bukan hanya soal ganti lahan.
Kurang terlibatnya seluruh pemilik lahan memantik permasalahan tanah yang tergolong harta pusaka tinggi ini.
Ditambah lagi kuatnya kearifan lokal masyarakat Minangkabau di Padang Pariaman, sehingga Kementerian PUPR menyikapi khusus permasalahan tersebut.
Pada akhirnya, solusi terbaik yang diambil guna muluskan pembebasan lahan agak mirip dengan Proyek Tol Yogyakarta-Solo.
Solusi yang diambil terbilang agak mirip dengan permasalahan pembebasan lahan, yakni sistem sewa lahan.
Memang pada akhirnya nilai ganti rugi lahan menjadi salah satu sebab nego alotnya pembebasan lahan.
Mengingat harga taksiran berkisar Rp23 ribu hingga Rp288 ribu, sedangkan biasanya nilai ganti rugi berkisar Rp57 ribu hingga Rp200 ribu.
Adapun biasanya tanah harta pusaka pada akhirnya dihargai lebih rendah daripada lahan yang telah bersertifikat.
Namun diharapkan dengan adanya persoalan ini, persoalan yang berkaitan lahan adat menjadi perhatian khusus dari Pemerintah RI.
Pasalnya, tanah bagi masyarakat adat bukan sekadar soal nilai ekonomi saja melainkan bersangkutan dengan falsafah kehidupan dan wibawa mereka.***