

inNalar.com – Pembangunan infrastruktur dalam skala besar sering kali dihadapkan pada tantangan di lapangan, salah satunya adalah protes dari warga terdampak.
Hal ini juga terjadi dalam megaproyek pembangunan jalan tol senilai Rp9,8 triliun yang melintasi wilayah Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Warga di beberapa nagari Padang Pariaman menolak proyek tersebut, bukan karena mereka tidak ingin maju, tetapi ingin menunjukkan tanggungjawab mereka sebagai masyarakat adat.
Penolakan terhadap proyek tol ini paling mencolok terjadi di Nagari Sungai Abang, serta di dua nagari lainnya, Sicincin dan Lubuk Alung.
Masyarakat setempat mengungkapkan kekhawatiran mereka karena jalan tol yang direncanakan akan melewati lahan produktif yang menjadi sumber penghidupan banyak keluarga.
Selain itu, wilayah yang terdampak juga merupakan area pemukiman padat, dengan sebanyak 246 rumah penduduk terancam tergusur.
Baca Juga: Seret Progres, Megaproyek Jalan Tol Sepanjang 36,6 Km di Sumatera Barat Kian Jelas Endingnya
Tidak hanya itu, di jalur yang direncanakan juga terdapat beberapa fasilitas umum penting, termasuk 1 Sekolah Dasar, 1 Masjid, 1 Puskesmas, serta hamparan sawah produktif yang selama ini menjadi tumpuan ekonomi masyarakat nagari.
Salah satu akar masalah dalam konflik ini adalah status tanah yang dilalui, yang sebagian besar merupakan tanah ulayat atau tanah adat bagi warga Padang Pariaman.
Selain memiliki nilai ekonomis, tanah ini merupakan simbol identitas adat yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Baca Juga: Jawa Timur Rajanya Kearifan Lokal? Inilah 5 Provinsi dengan Desa Wisata Terbanyak di Indonesia
Karena tanah ulayat dimiliki oleh komunitas atau kelompok adat tertentu, alih fungsi lahan sering kali menimbulkan penolakan.
Kekhawatiran utama masyarakat adalah hilangnya identitas dan kekuatan komunitas mereka jika tanah adat ini digunakan untuk kepentingan lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai adat.
Protes warga terdampak terhadap proyek tol ini pada akhirnya bermuara pada gugatan hukum yang diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Keputusan PTUN pun berpihak pada masyarakat, mengakui hak-hak mereka atas tanah ulayat tersebut.
Pengelola proyek, yang merasa keberatan dengan keputusan tersebut, kemudian mengajukan kasasi ke pengadilan yang lebih tinggi.
Namun, meski kasasi diajukan, hasil akhirnya tetap menguntungkan masyarakat adat yang protes karena terdampak.
Baca Juga: Kebumen Masuk Klub Eksklusif UNESCO! Simak 9 Geopark Indonesia Lainnya yang Tak Kalah Keren
Pengadilan kembali memenangkan warga, mengukuhkan bahwa hak atas tanah ulayat harus dihormati dan dilindungi.
Solusinya, pemerintah dan pengelola proyek sepakat untuk mengalihkan jalur tol ke lahan yang tidak produktif, meski dengan konsekuensi ruas jalan menjadi lebih panjang dari rencana awal.
Langkah ini diambil untuk tetap menjalankan proyek tanpa harus mengorbankan lahan produktif dan fasilitas umum yang vital bagi kehidupan masyarakat di wilayah tersebut.
Di sisi lain, Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Sumbar, Hansastri meneybutkan bahwa pembangunan jalan tol ini sangat disambut warganya dengan antusias.
Sehingga penolakan ini bukan karena warganya anti dengan kemajuan hanya saja pembangunan tersebut tetap harus memperhatikan nilai-nilai budaya dan adat setempat.***