91 KM dari Denpasar, Desa Unik Bali Ini Terkena Mitos Kutukan Tunarungu hingga 7 Turunan Lebih

inNalar.com – Pulau dewata Bali memiliki salah satu desa unik yang diduga terkena kutukan menjadi disablitas, mulai dari Tunarungu hingga tunanetra. 

Inilah Desa Bengkala. Masyarakatnya sudah lebih dari tujuh turunan, generasinya mengalami disabilitas berupa Tunarungu hingga tunanetra sejak lahir. 

Sekitar 85 km dari Denpasar atau kurang dari 3 jam, daerah unik ini akan ditemukan tepat di Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng. Provinsi Bali. 

Secara geografis, melansir laman buleleng-desa bengkala.goid, luas wilayahnya mencapai 326.00 Ha yang berada pada ketinggian ± 300-400 mdpl.  

Baca Juga: Jadi Cermin Potret Ekonomi Indonesia, Begini Sejarah Lengkap Mata Uang Rupiah

sebelah utaranya berbatasan dengan Kampung Bungkulan, sebelah timur berbatasan dengan Pedesaan Pangkung Srondon, sebelah selatan berbatasan dengan perkampungan Bila, dan sebelah barat berbatasan dengan Sungai Tukad Aya.

Jarak tempuh dari wilayah Kecamatan Kubutambahan hanya sekitar 5 kilometer. Sementara diakses dari pusat daerah Buleleng sendiri jaraknya sekitar 17 kilometer, dan jarak dari pusat kira Bali seperti di Denpasar hanya sekitar 91 kilometer.

Fenomena banyaknya warga yang terkena gangguan tersebut membuat daerah ini lebih dikenal sebagai “Kampung Kolok.”

Baca Juga: Tersandung Isu Dana CSR Rp200 Miliar, Raja Batu Bara Kalimantan Timur Ini Pernah Dikeluhkan Wagub Kaltim

Kolok yaitu kata yang berasal bahasa Bali, yang biasanya dipakai untuk menyebut istilah bahasa isyarat yang digunakan oleh masyarakat disabilitas di sana. 

Unik banget, meskipun mereka terbiasa hanya berkomunikasi dengan bahasa Kolok atau isyarat, mereka hidup harmonis dan saling menghargai satu sama lain. 

Bahkan, saking banyaknya masyarakat yang menyandang disablitas, seluruh penduduk daerah tersebut fasih menggunakan bahasa isyarat guna menciptakan kesetaraan dan hubungan sosial yang lebih dekat.  

Baca Juga: Koin Kuno 50 Rupiah Komodo Harganya Melangit hingga Rp30 Juta, Fakta atau Hoaks?

Tak kalah unik dengan kebiasaan berbahasa mereka, Desa Bengkala juga mempertahankan tradisi budaya yang kuat. Salah satunya Tari Janger Kolok, di mana semua penarinya adalah warga tunarungu dan tunanetra. 

Tarian tersebut menjadi simbol kebanggaan dan solidaritas warga desa Bengkala, sekaligus hiburan lokal yang biasa tampil dalam acara perayaan-perayaan dan pagelaran daerah. 

Seiring berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan, menurut sejumlah pakar medis, perkara banyaknya tunarungu hingga tunanetra bukanlah sebuah kutukan. 

Baca Juga: Perusahaan Tambang di Halmahera Ciptakan Inovasi Gila, Ampas Nikel ‘Disulap’ Jadi Bahan Konstruksi Premium

Sejumlah ahli telah berkali-kali melakukan studi dan menjadikan tempat ini sebagai objek penelitian mereka, dan ternyata yang ditemukan temuan yang mengejutkan sebagai berikut.

Ahli mengaitakan fenomena ini sebagai sebagai recessive non-syndromic deafness, yaitu gangguan pendengaran yang diwariskan secara resesif autosom dan tidak disertai gejala lain. 

Tetapi meskipun demikian, masyarakat setempat tetap mengaitkan fenomena disabilitas tersebut dengan legenda mitos kutukan yang terus berkembang secara turun-temurun.   

Adapun cerita mistis tersebut berkembang menjadi beragam versi, di antaranya, pertama, kutukan tersebut berasal dari adanya hantu kolok yang berwujud manusia. 

Baca Juga: Benarkah Uang Kuno Bakal Selalu Dibayar Mahal Kolektor? Begini Faktanya

Kedua, kutukan disabilitas tersebut terjadi karena anak raja yang tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan dari prajurit saat pulang main.

Dan ketiga, kutukan dipercaya berasal dari arwah gentayangan hantu kolok yang datang pada perayaan-perayaan besar atau di malam hari. 

Walaupun belum ada bukti ilmiah untuk mendukung klaim ini, cerita tersebut tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari identitas budaya Desa Bengkala.  

Bahkan, meski sering menjadi objek penelitian ilmiah, warga Bengkala tetap memegang teguh kepercayaan bahwa kondisi kolok disebabkan oleh kutukan. 

Namun, mereka juga tidak merasa dirugikan dengan Adanya penelitian. Sebaliknya, hal ini justru menjadi keistimewaan dan identitas unik bagi mereka.  

Terlebih, penderita tunarungu dan tunanetra di Desa Bengkala tidak dianggap sebagai beban. Mereka diberi kebebasan dari kewajiban tertentu.

Seperti halnya gotong-royong, iuran untuk upacara keagamaan hingga berkontribusi sesuai dengan kemampuan dan kapasitas yang dimilikinya masing-masing. ***