
Segala macam hal bisa ditemukan di Indonesia, dari keindahan alam, budaya yang beragam sampai tradisi-tradisi yang bikin kita geleng-geleng kepala.
Nah, selain makanan khas, kota-kota besar atau adat istiadat, ternyata Indonesia juga punya desa-desa unik yang gak bakal kamu temui di negara lain.
Berikut 7 desa paling unik di Indonesia yang ceritanya bukan cuma bikin tercengang, tapi juga membuka wawasan kita tentang bagaimana manusia bisa beradaptasi dengan lingkungan dan kepercayaan mereka.
Penasaran desa mana aja yang masuk daftar? Yuk langsung aja simak ulasan di bawah ini.
Kalau Bogor disebut kota hujan, maka desa Kwatisore di kabupaten Nabire, Papua, bisa dibilang lebih ekstrim lagi. Di sini hujan hampir selalu turun di sore hari bahkan saat musim kemarau sekalipun.
Fenomena ini membuat masyarakat lokal sering bercanda bahwa Kwatisore berasal dari kata “khawatir sore” karena setiap warga sudah tahu akan basah-basahan menjelang malam.
Desa ini terletak di kawasan Taman Nasional Teluk Cendrawasih, sebuah surga laut yang terkenal dengan hiu paus raksasanya. Jadi meskipun hujan menjadi rutinitas, Kwatisore tetap ramai dikunjungi wisatawan.
Para peneliti menyebut fenomena hujan sore ini terjadi karena letaknya di pesisir teluk dengan kelembaban tinggi, sehingga awan mudah terbentuk dan mengguyur hujan di waktu yang hampir sama setiap hari.
Bagi warga hujan sore bukan penghalang, malah sudah jadi bagian hidup. Mereka beraktivitas seperti biasa di pagi hari lalu bersiap-siap saat langit mulai gelap di sore menjelang.
Suasana desa pun terasa segar, jalanan selalu bersih dan udara bebas polusi, karena kendaraan bermotor jarang digunakan. Jadi meski bikin repot, hujan sore justru menjaga ekosistem Kwatisore tetap alami.
Desa suku Baduy yang terletak di pegunungan Lebak, Banten, dikenal sebagai salah satu komunitas paling unik di Indonesia, karena kehidupan mereka yang nyaris bebas dari modernisasi.
Mereka secara tegas menolak teknologi seperti listrik, kendaraan, bermotor dan ponsel, memilih hidup sederhana sesuai ajaran leluhur. Bahkan konon pesawat dilarang melintas di atas wilayah Badui terutama di kawasan Badui dalam, dinmana segala bentuk teknologi termasuk kamera digital dilarang keras.
Akibatnya kita tidak bisa benar-benar melihat seperti apa perkampungan mereka, kecuali datang langsung ke sana. Rumah-rumah Suku Baduy dibangun dari kayu dan bambu dengan atap rumbia, sementara pakaian tradisional menjadi identitas buat mereka.
Badui dalam memakai kain putih polos sebagai simbol kesucian dan keterikatan pada adat. Salah satu keunikan paling menonjol adalah jembatan pohon yang menghubungkan daerah sulit dijangkau.
Jembatan-jembatan ini dibuat dari batang pohon yang ditanam dan diikat sedemikian rupa hingga kuat menahan beban, menjadi akses vital melintasi sungai dan lembah. Selain fungsi praktis jembatan ini juga menunjukkan harmoni Baduy dengan alam, menggunakan bahan alami tanpa merusak lingkungan sekitar.
Selain itu masyarakat Badui menjalankan sistem sosial dan ekonomi yang khas, mereka hidup bergotong-royong, bercocok tanam secara tradisional dan mematuhi aturan adat yang mengatur hampir setiap aspek kehidupan, mulai dari pernikahan hingga pembagian tanah.
Hidup tanpa uang modern dan teknologi membuat mereka mandiri sekaligus selaras dengan alam. Keunikan ini menjadikan desa suku Baduy sebagai daya tarik budaya sekaligus pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga keseimbangan hidup dengan alam.
Di desa kemiren Banyuwangi, hidup masyarakat Osing yang masih memegang teguh tradisi leluhur mereka. Salah satu yang paling terkenal adalah kawin colong atau kawin lari.
Tradisi ini menjadi jalan keluar bagi pasangan muda yang cintanya tidak direstui orang tua. Alih-alih dipandang sebagai aib, kawin colong justru dianggap sah menurut adat.
Setelah pasangan kabur bersama keluarga besar biasanya akan menggelar musyawarah dan akhirnya menikahkan mereka secara resmi demi menjaga kehormatan kedua pihak. Prosesi kawin colong biasanya dilakukan dengan cara sederhana, pihak laki-laki membawa kabur calon istri ke rumah kerabatnya lalu mengutus seorang perantara untuk memberitahu keluarga perempuan.
Dalam waktu singkat keluarga kedua belah pihak akan bertemu membicarakan masalah dan mencari jalan keluar. Hasilnya hampir selalu sama, pernikahan tetap harus dilaksanakan, jadi kawin colong bukan sekadar pelarian melainkan sebuah mekanisme adat yang diakui secara sosial.
Hingga kini tradisi kawin colong masih ada meski tidak sesering dulu. Tradisi ini bahkan sering dijadikan bahan kajian antropologi, karena menunjukkan cara unik masyarakat suku Osing dalam mengatur hubungan sosial dan pernikahan hubungan sosial dan pernikahan.
Di tepi danau Batur Bali ada sebuah desa yang bikin banyak orang merinding sekaligus penasaran, Desa Trunyan. Di sini orang yang meninggal tidak dikubur atau dikremasi seperti tradisi Hindu pada umumnya.
Mayat mereka justru diletakkan begitu saja di tanah tepat di bawah pohon besar bernama tarumyan. Anehnya meskipun ada banyak jenazah yang dibiarkan terbuka, tidak ada bau busuk sama sekali. Rahasianya ada pada pohon tarumyan yang mengeluarkan aroma harum alami seperti dupa, sehingga mampu menetralisir bau mayat.
Bahkan dari situlah nama Trunyan berasal gabungan kata taruh berarti pohon dan menyan wewangian.
Buat wisatawan menuju lokasi pemakaman ini harus naik perahu menyeberangi danau Batur. Begitu sampai, suasananya bikin bulu kuduk berdiri, sunyi, sakral dengan tulang belulang manusia tersusun rapi di sekitar.
Bagi warga Trunyan ini bukan sesuatu yang menyeramkan, tapi tradisi turun temurun yang dianggap sebagai bentuk penghormatan terakhir pada leluhur.
Di ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut tersembunyi sebuah desa kecil bernama Wae Rebo yang sering dijuluki desa di atas awan. Desa ini terkenal karena rumah tradisionalnya yang disebut mbaru niang.
Uniknya rumah-rumah berbentuk kerucut itu dibangun tanpa menggunakan paku besi sama sekali, semua sambungan kayu hanya diikat dengan rotan dan tali dari serat alam. walau sederhana konstruksi ini justru sangat kuat, mampu bertahan puluhan tahun bahkan diterpa angin kencang khas pegunungan Flores.
Mbaru Niang memiliki struktur lima lantai, lantai pertama dipakai untuk tempat tinggal keluarga sementara lantai kedua hingga keempat difungsikan sebagai lumbung untuk menyimpan padi, jagung, kopi dan bahan makanan lain.
Lantai kelima dianggap paling sakral, khusus untuk benda-benda pusaka dan simbol leluhur. Arsitektur unik ini menunjukkan betapa cerdasnya nenek moyang Wae Rebo dalam menggabungkan fungsi budaya dan kepercayaan dalam satu bangunan.
Keindahan Wae Rebo bukan hanya soal rumahnya tapi juga pemandangan alam di sekitarnya. Untuk mencapainya pengunjung harus tracking selama 3 sampai 4 jam, melewati hutan tropis yang masih sangat alami.
Begitu sampai suasana desa yang dikelilingi kabut membuat pengunjung seakan masuk ke dunia lain. Tak heran UNESCO menetapkan mbaru niang sebagai warisan budaya dunia pada 2012. Desa ini pun semakin ramai dikunjungi wisatawan dari dalam maupun luar negeri.
Di dusun Ulutauae, Sulawesi Selatan Bone, Sulawesi Selatan, banyak warganya memiliki kondisi fisik yang unik. Tangan dan kaki berbentuk mirip capit kepiting, mereka hanya memiliki tiga jari dengan telapak yang terbelah.
Kondisi medis ini dikenal dengan istilah ektordaktili, sebuah genetik langka. Kasusnya cukup banyak di Ulutauae, sehingga hampir setiap keluarga memiliki anggota dengan ciri serupa.
Secara medis kemungkinan besar kondisi ini dipicu oleh faktor genetik dan diperparah oleh perkawinan antar kerabat yang masih umum di desa tersebut. Namun dari sisi kepercayaan lokal, warga percaya ini adalah bentuk kutukan akibat leluhur yang melanggar aturan adat.
Sayangnya karena minimnya edukasi kesehatan dan kurangnya penelitian, penderita sering dijauhi dan dianggap berbeda. Meski demikian beberapa aktivitas sosial berusaha mendampingi warga agar tetap percaya diri dan mendapat perhatian medis.
Jika di Lamno Aceh sebagian warganya bermata biru atau coklat karena merupakan keturunan bangsa Portugis yang pernah singgah ratusan tahun lalu, maka berbeda halnya dengan masyarakat di pulau Buton Sulawesi tenggara.
Di sana fenomena mata biru muncul bukan karena pengaruh keturunan asing, melainkan murni faktor genetik alami. Keunikan ini membuat banyak orang tercengang, sebab mata biru terang yang biasanya identik dengan orang Eropa justru ditemukan pada wajah-wajah asli Indonesia.
Fenomena langka ini bukan karena lensa kontak atau perkawinan silang, melainkan bawaan genetik yang diwariskan turun temurun di kalangan warga Buton.
Menurut para ahli kondisi unik ini disebut waardenburg syndrome, kelainan genetik langka yang bisa mempengaruhi pigmen warna mata, rambut bahkan kulit. Namun di Buton fenomena ini dianggap sebagai sesuatu yang istimewa seolah menjadi identitas khas masyarakat setempat.
Itulah informasi 7 desa teraneh di Indonesia. Semoga bermanfaat.